Resensi Pendahuluan Bharata-Yuddha
Kisah dalam ceritera
Bharata-Yuddha ini disadur kembali oleh Mpu Seddah, lalu dilanjutkan oleh Mpu
Panuluh. Sebelumnya kisah ini berasal dari tanah India. Dengan bahasa yang
berbeda dari karya asal. Aslinya berbahasa sanskerta, saat ditulis oleh sang
maestro menggunakan bahasa Jawa Kuna. Begitu pula, ada semacam ‘kreasi’ dari
sang penulis yaitu adanya nama Jayabhaya dalam kisah Bharata-Yuddha ini. Pun
juga, ada angka tahun dalam bentuk candra-sengkala, ialah tahun Saka “sanga
kuda çandrama” atau tahun Saka 1079. Dalam konversi masehi menjadi 1157. Raja
Jayabhaya adalah raja kerajaan Kediri. Selama zaman Kediri, telah banyak karya
sastra Jawa Kuna yang dibuat. Diantara sekian banyaknya, yang terkenal ialah
kakawin Ramayana, Arjunna-wiwaha, Bharata-Yuddha, dan Uttara-kanndda.
Menurut pendahuluan
ini, R.Ng. Yasadipura telah menyadur kakawin Ramayana dan Bharata-Yuddha dari
bahasa Jawa Kuna menjadi Jawa Baru yang masing-masing menjadi Serat Ramayana
jarwa dan Bratayuda jarwa. Sedangkan Arjuna-wiwaha atau wiwaha jarwa juga
dikenal sebagai Mintaraga oleh Pakubuawana III. Lalu Uttara-kanndda disadur
oleh R.Ng Sindusastra dengan judul serat Arjunasasrabau, juga dikenal dengan
serat Lokapala. Dengan ini bisa kita ambil kesimpulan yaitu semula memakai
aturan syair India kini menjadi syair Indonesia asli yang disebut dengan
macapat.
Selain itu, dalam
pendahuluan ini juga membahas ilmu siasat perang dalam kakawin Bharata-Yuddha.
Jika kita lihat perlawanan bangsa Indonesia melawan para penjajah. Seperti
Sultan Hasanuddin, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipanagara, Perang Padri,
Perang Aceh, dan yang lainnya melawan Belanda, siasat perang bangsa kita
berhasil mengejutkan pihak lawan. Tidak dapat disangka oleh para penjajah,
ternyata pengetahuan bangsa Indonesia mengenai taktik perang lumayan
diperhitungkan. Lalu timbul pertanyaan. Dari mana bangsa Indonesia bisa belajar
siasat perang yang sebegitu bagusnya ? Disamping adanya faktor untuk
mempertahankan tanah air dari serbuan pihak lawan, tentu ada kitab yang
membahas tentang siasat perang. Jika dipikirkan lagi, zaman dahulu pasti belum
ada lembaga pendidikan yang mengajarkan secara sistematis mengenai taktik
berperang. Meski begitu, pengertian perang ditemukan dalam kakawin
Arjunna-wiwaha. Kitab ini rupanya menjadi kitab pegangan raja-raja Gupta yang
pernah mempersatukan sebagian besar wilayah India.
Pengetahuan tentang
perang yang lebih konkret diketemukan dalam kakawin Bharata-Yuddha yang
menyebutkan beberapa bentuk susunan tentara, kitab Nitiçastra membicarakan cara
memilih panglima perang dan Negarakertagama menguraikan bagaimana raja Hayam
Wuruk itu mempertontonkan kepandaian tentaranya yang mendemonstrasikan segala
macam ulah perang. Contoh tentang keahlian perang bisa kita ambil dari Pangeran
Dipanagara yang sering menggoncangkan pasukan Belanda. Ketika ia sedang dikejar
oleh tentara lawan, ia menjeburkan diri ke sungai praga yang sedang pasang
airnya. Tetapi ia tahu tempat yang dangkal. Sedang tentara Belanda yang sedang
berkuda, tenggelam dalam sungai yang bagian dalam sehingga tidak bisa mengejar
lagi sang pangeran.
Satu ilustrasi tentang
susunan tentara perang bisa diambil dari kisah perang besar keluarga Kurawa
melawan Panddawa. Serangan dari tentara Hastina dalam jumlah yang banyak itu
disebutkan dalam pupuh X 17, yang menyatakan satu kereta perang diperkuat 10 ekor
gajah, sedang masing-masing gajah diperkuat oleh 10 ekor kuda, dan seekor kuda
diperkuat oleh 10 orang prajurit. Massa yang banyak dengan kuda dan gajah itu
menjadi bukit yang tangguh. Satu contoh formasi perang dari pendahuluan ini,
tentara panddawa yang dipimpin oleh Arjuna mengambil susunan tentara yang
disebut ardhacandra wyuha atau
susunan tentara berbentuk bulan sabit. Seperti dalam pupuh XXVI 5.
Keterangan: Arjuna (di
depan), Kreshnna (sebagai sais kereta perang Arjuna), Yudhishtthira (tengah),
Nakula (belakang), Sahadewa (belakang), Yuyutsu (belakang), Satyaki (ujung
kiri), Bhima (ujung kanan).
Dari susunan di atas,
dapat diketahui, bahwa kecuali Arjuna sebagai panglima dapat menyerbu ke depan
dan bisa melindungi Yudhishtthira yang ada di belakangnya. Sedangkan dari
belakang kedudukan Yudhishtthira telah dilindungi oleh Nakula, Sahadewa, dan
Yuyutsu. Ujung kiri dan kanan dipimpin oleh Satyaki dan Bhima dalam hal ini
dapat membantu Arjuna menahan serangan yang dipimpin oleh Karna. Membuat Karna
terjebak dan akhirnya dibunuh oleh Arjuna. Selain itu pula Dursasana juga gugur
karena dibinasakan oleh Bhima.
Dari uraian di atas
dapat diambil kesimpulan, bahwa bangsa Indonesia sejak masa lampau telah
mengenal ilmu perang dan karena kitab-kitab yang mengajarkan ilmu ini secara
sistematis tidak ditemukan. Dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia dengan
otaknya yang tajam dapat mengembangkan ilmu perang yang didasarkan ilmu perang
dalam kesusasteraan Indonesia Kuno.
Penyebutan raja
Jayabhaya dalam kakawin Bharata-Yuddha ini juga mengatakan bahwa sang raja
telah mengadakan perang dengan Hemabhupati. Tidak lain dan tidak bukan adalah
kakaknya sendiri. Pada akhirnya Jayabhaya berhasil membunuh sang kakak. Ini
memang perbuatan jahat. Tetapi kakawin Bharata-Yuddha ini merupakan
kesusasteraan ruwat, Jayabhaya yang berbuat salah itu diidentifikasikan dengan
Arjuna untuk membenarkan perbuatan membinasakan Hemabhupati. Ialah kakak
Jayabhaya yang diasosiasikan dengan orang-orang Kurawa.
Bahwasanya ada sebuah
pelajaran moral, ilmu negara, ilmu hukum, ilmu perang, dan sebagainya. Meski
hanya tersirat. Pembukaan ini cukup lengkap. Dengan memberikan beberapa contoh
konkret berbagai macam siasat dan susunan tentara perang. Juga proses
peperangan itu sendiri. Dan tentang penjelasan mengenai raja Jayabhaya di dalam
kakawin ini juga telah ada. Setidaknya untuk sebuah pendahuluan, ini bisa
dikatakan sangat lengkap meski tidak ada gambar ilustrasi yang
memperjelaskannya. Tetapi jika ingin mengetahui secara lebih lengkap lagi, bisa
membaca buku ini. Buku ini tentu sangat menarik untuk dibaca dan dipahami.
Catatan kecil ; "Sepertinya ini bukanlah resensi yang bagus."
0 comments:
Post a Comment