Wednesday 23 April 2014

Jeruk Penyelamat

JERUK penyelamat


“Ayo main bola nak, aku yang jadi penjaga gawangnya.”
“Ia Pa. Aku ambil bola dulu ya !”

Kala sinar merah menyinari dunia. Itulah momen yang tepat ‘tuk bersama keluarga. Senja menjelang petang, jikalau waktu mengizinkan, aku selalu menyempatkan diri untuk bersantai sejenak. Apalagi bersama Stevi. Anakku satu-satunya ini memang senang sekali bermain dengan si kulit bundar. Sepakbola dan voli sudah menjadi teman setia. Dan ia juga memiliki kesamaan gen denganku dalam hal hobi. Salah satunya tidak menyukai basket. Dari kejauhan tampak seorang bidadari penyelamatku dan Stevi. Semakin mendekat sambil membawa dua gelas berisi air segar pelepas dahaga.

“Mas, ajak Stevi minum dan istirahat ya !” Kata istriku sembari menghidangkan es jeruk
“Wah es jeruk. Ayo minum dulu Pa” Sahutnya sangat bersemangat

            Aku dan Stevi mulai berbincang-bincang. Tentang benda berwarna orange tersebut. Sepertinya Stevi sangat menyukai sensasi rasanya yang menggelitik saraf lidahnya.

“Pa, ayo kapan-kapan kita beli buah jeruk ya. Manis sekali jeruk buatan mama.”
“Tentu sajalah. Semanis apa pun jeruk, jelas lebih manis hidup di antara keluarga nak. Tapi kau tahu Stev, tidak secepat yang kau bayangkan jeruk itu bisa langsung meluncur ke gelasmu itu. Haha”

“Memangnya apa maksud Pa ?”
“Sudahlah, lain kali aja aku ceritakan. Sekarang kamu mandi ya. Hari mulai malam. Jangan lupa bawa bolanya ke dalam rumah.”

            Lampu alami telah lenyap di ujung cakrawala barat. Berganti sumber sinar buatan manusia. Teman-teman Stevi mulai berdatangan. Mereka sedang belajar PKN. Dengan materinya yaitu sikap rendah hati. Jam sembilan malam. Teman-teman Stevi segera berpamitan. Di malam itu pula aku berjanji kepada Stevi untuk mengajaknya ke toko buah. Stevi pun senang sekali dan segera tidur.

***
            Ketika siklus alam masih berputar seperti biasa, Stevi juga memulai daur hidupnya dengan bangun lalu mandi, kemudian menyantap sumber energi kaya akan gizi yang telah ada di depan tv. Setelah mengucap salam, ia bergegas berangkat sekolah. Motor, mobil, dan sepeda jarang yang melintas mewarnai pagi ini. Berbagai pedagang pinggir jalan mulai meretas asa mencari rezeki. Ada pula loper koran yang melintas. Satu hal yang membuat mata Stevi langsung tersengat adalah pemandangan tepat di depan hidungnya. Pikirannya mulai kacau terinfeksi olehnya. Bukan seorang gadis cantik karena Stevi masih kelas 4 SD. Melainkan adanya berbagai tumpukan buah jeruk yang kelihatan menggoda otak Stevi kala itu. Tanpa peduli kanan kiri, Stevi langsung melangkahkan kedua kakinya dengan cepat ke arah seorang kakek tua penjual jeruk tersebut.

            Dan siapa pun takkan pernah bisa menduga kejadian ini. Dari kejauhan tampak pengendara motor yang melaju bagaikan motto gp. Sontak pengendara tersebut hampir menabrak Stevi. Kakek tersebut melihat hal itu. Tanpa memedulikan usianya, kakek itu langsung berlari menuju Stevi. Lalu mendorong Stevi dan akhirnya BRUKKKK. Suara motor yang terdengar keras memekikkan telinga karena telah menabrak seseorang.

“Astaga, kakek, kau tidak apa-apa kan ?” Tanya pengendara motor itu panik

            Setelah agak sadar, terciumlah bau darah segar mengalir di dekat Stevi. Stevi melihat seorang kakek yang terkapar di tengah jalan. Stevi kaget melihat hal itu. Si pengendara motor itu pun segera membawa kakek ke RS terdekat. Stevi ingin ikut ke RS karena sangat prihatin dengan keadaan kakek itu. Tetapi si pengendara motor itu mengatakan bahwa Stevi harus segera sekolah. Sambil memberinya alamat RS yang akan ditujunya. Dengan wajah yang sangat muram juga hati yang tersentuh karena kakek tadi, Stevi terus berjalan menuju tempat pembelajaran. Juga tidak lupa ia berdoa semoga kakek tersebut segera sembuh.

            Sepulang sekolah, Stevi langsung makan lalu istirahat. Rencananya, sore ini aku akan mengajak Stevi ke toko buah. Tetapi aku tidak tahu kenapa dengan Stevi. Wajahnya yang merana, semangatnya entah dicuri oleh siapa, bahkan satu kata pun belum terdengar darinya.

“Stev, ada masalah apa ? Kok kelihatannya kamu tidak bersemangat. Nanti kan mau beli jeruk.” Aku pun coba menghiburnya
“Tidak ada apa-apa Pa.” Jawabnya sambil masih tertunduk
“Baiklah. Kalau begitu kamu segera siap-siap ya. Kita akan beli buah jeruk kesukaanmu”

            Lalu kami berdua pun berangkat menuju ke rumah buah. Sesampainya di sana, banyak sekali pemandangan yang seharusnya membuat Stevi kegirangan. Berbagai jeruk menampilkan paras moleknya. Seperti di acara pameran gaun di Prancis. Pesertanya ada dari lokal maupun impor. Entah sejauh berapa kilometer asal mula jeruk itu sampai ke gedung pementasan ini. Entah berapa lamanya biji bisa tumbuh menjadi pohon lalu menghasilkan buah jeruk. Tetapi Stevi tetap saja menundukkan pandangannya. Aku tidak tahu kenapa ia bisa terlihat sesedih ini. Akhirnya kami pun keluar dari toko dengan tangan hampa. Dalam suasana yang kian memburuk, aku menyempatkan diri untuk bertanya sekali lagi kepada anakku tersebut.

“Ada apa nak ? Ceritakanlah pada bapak. Jangan disimpan sendiri donk !”

            Stevi masih belum menjawab pertanyaanku. Kulihat digenggaman tangan kanannya ada kertas. Aku coba meminta Stevi untuk membukanya. Ternyata bertuliskan alamat RS.

“Pa, ayo kita pergi ke RS ini. Aku ingin bertemu dengan orang itu Pa.” Stevi pun mulai meneteskan air-air kesedihan.

            Meski aku belum tahu isi hati Stevi, demi membuatnya kembali bersinar cerah lagi, aku segera mengantarkan Stevi ke RS yang dimaksud. Sesampainya di sana, aku dan Stevi segera mencari ruangan yang ingin dituju Stevi. Berbagai lekuk koridor yang berliku-liku, berbelok-belok, dan membingungkan bak labirin tidak membuat Stevi patah semangat. Ia terus berusaha menemukan ruangan tempat seseorang sedang dirawat. Dan, inilah kamar yang dimaksud. Aku dan Stevi membuka pintu yang di dalamnya berisi semua pertanyaanku. Aku lihat ada seorang yang duduk di samping kakek yang terbujur lemah di kasur. Seketika Stevi langung bergegas ke samping kakek tersebut.

“Kakek, apa kakek baik-baik saja ? Aku takkan pernah melupakan kejadian tadi. Betapa hebatnya kakek yang tidak peduli usia dan juga resiko hanya untuk menyelamatkanku.”
“Tunggu, kakek itu tadi kenapa ?” Aku pun bertanya kepada seorang yang duduk
“Sebelumnya, maafkan aku dulu pak. Tadi pagi aku melaju dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba anakmu itu menyeberang tanpa memperhatikan keadaan. Karenanya, aku hampir menabraknya. Sampai ada seorang kakek penjual buah jeruk yang menyelamatkan anakmu.” Jelasnya panjang lebar
“Hmm, jadi ini penyebabnya. Anakku yang biasanya bersemangat langsung 180 derajat berbalik suram, kelam, hingga terlihat tenggelam.” Kataku dalam hati

            Mendengar cerita dari anakku dan pengendara tersebut, aku pun sangat terharu akan kebaikan seorang kakek tua penjual jeruk itu. Tanpa memedulikan resiko atau pun dirinya sendiri, ia mengorbankan keselamatannya demi anak orang lain. Aku yakin kakek itu adalah contoh orang yang sangat rendah diri dan baik hatinya jarang dimiliki orang. Beberapa saat kemudian, kakek itu sadar. Ia melihat Stevi. Anak yang ia selamatkan tadi pagi. Melihat kakek itu telah mulai mengamati sekitar, Stevi langsung menuju lagi ke dekat kakek sambil menangis tersedu-sedu hingga deras air matanya terus mengalir takterbendung. Betapa tersentuh hatinya melihat keadaan kakek itu setelah menyelamatkannya.

“Hei nak. Bagaimana keadaanmu ? Baik-baik saja kan ?”
“Aku selamat kek, atas pengorbanan kakek tadi pagi. Bagaimanapun kakek adalah orang yang luar biasa. Aku takkan melupakan momen pagi tadi kek.”
“Syukurlah. Yang penting kamu bisa terus sehat dan selamat. Karena kamu masih punya masa depan yang panjang. Untuk dirimu dan orang-orang di sekitarmu.”
“Ia kek. Kalau tidak ada kakek, apa yang ‘kan terjadi selanjutnya.”
“Tidak apalah nak. Selanjutnya, kamu harus berhati-hati ya. Bisa saja sekitarmu menjadi jahat atau baik kepadamu. Bisa menguntungkan atau merugikanmu. Jangan lupa juga kamu bersyukur kepada Tuhan. Karena Dialah penyelamat kita sesungguhnya.”

            Kata-kata dari kakek itu memang sangatlah bijak. Aku coba memaknai tiap untaian kata-kata mutiaranya. Sungguh indah nan penuh makna. Senja menjelang berganti malam. Aku dan Stevi segera pamitan. Sebelumnya, Stevi mengajakku ke bagian administrasi RS. Stevi meminta penjaga administrasi menghubunginya jika kakek itu telah pulih semua luka-lukanya.

***
            Dua minggu telah berlalu. Aku mendapat kabar dari RS bahwa kakek penjual buah jeruk telah sembuh. Begitu mengetahuinya, Stevi langsung bergegas mengajakku menuju rumahnya. Kami berdua berangkat menuju alamat yang diberi oleh petugas RS. Melewati jalan desa yang banyak jebakannya. Banyak pepohonan yang terlihat berjalan di pinggir jalan. Rumah-rumah berlapis besi alami dan warga yang suka menyapa mewarnai perjalanan menuju rumah kakek itu. Suasana bersahabat memang mencerminkan warganya. Setelah melewati berbagai halang rintang, akhirnya kami sampai di rumah seorang penyelamat yang takkan terlupakan.

            Begitu sampai di rumah kakek penjual jeruk, Stevi langsung berlari memeluk kakek itu. Setelah hari-hari sebelumnya aku berdiskusi dengan istriku tentang keinginan Stevi. Aku pun akan mengatakannya. Tetapi sebelum mulutku mengucapkan sihir ajaib perubah segala, anakku juga mengeluarkan sihirnya terlebih dulu. Lalu membuat sihirku gagal.

“Kakek, karena kakek sangat baik aku akan memberikan sihir ini kepada kakek.” Katanya manis
“Ada apa memangnya nak ? Katakan sekarang sihirnya, haha”
“Baiklah. Abrakadabra, bim salabim. Besok kakek bawa semua buah-buahnya ke warung yang telah aku, bapak, dan ibuku buat untuk kakek. Agar aku bisa selalu membeli buah jeruk kakek.”
“Wah, kau anak yang baik sekali. Semoga kamu nanti bisa terus tumbuh menjadi anak yang berbakti kepada orang tua. Semoga juga bisa mendapatkan semua impianmu.”
“Ia kek. Terima kasih banyak ya kek. Dan semoga ke depannya masa depan kita semakin cerah.”

TAMAT

0 comments:

Post a Comment