Pergelaran Wayang 15 Maret
2014, Dari Kacamata Awam
Sang dalang mulai menari-narikan benda takbernyawa di
arena. Para penonton mulai melirik sambil mengonsentrasikan fokus mereka di
layar takberkaca. Entah ada yang duduk di kursi atau menahan tubuh mereka agar
tetap tegak. Alunan nada dari perangkat musik khas Jawa juga mengiringi. Begitu
pula dengan suara-suara merdu dari para sinden mewarnai malam itu. Pemandangan
sekitar juga menghiasi acara. Ada yang lalu lalang hanya untuk mencari tempat
duduk, atau berpindah, atau sekedar mau memotret dari dekat. Lalu coba
bayangkan beberapa orang yang menahan beratnya air mineral dan jajanan. Demi
meretas asa mencari rezeki di tengah-tengah konsentrasi menonton wayang. Dengan
segala fenomena tadi, acara juga terus berjalan. Bahasa Jawa yang sulit
dipahami oleh awam juga telah terdengar.
Malam
itu, malam minggu, acara pergelaran wayang semalam suntuk yang memperingati Dies Natalis UNS yang ke-38.
Boneka-boneka kulit mulai beraksi. Atau lebih tepatnya sang dalang yang
memainkannya. Sebenarnya banyak sekali yang aku lihat di momen itu. Aku tahu,
aku sendiri adalah mahasiswa jurusan sastra daerah. Meski begitu, aku masih
terlalu ‘bingung’ jika ditanya tentang dialog antar tokoh wayang tersebut.
Apalagi jujur tokoh wayang saja belum banyak tahu. Lebih parah lagi aku juga belum
paham alur episode ketika pergelaran tersebut. Memang maha. Tetapi seorang maha
yang baru satu setengah tahun juga perlu belajar lagi. Dan pertanyaannya
adalah, bagaimana para penonton bisa memahaminya ?. Lalu tidak ada translator bahasa di samping mereka.
Memangnya sebuah film bilinggual yang
bisa mengalihbahasakan dialog ?
Memang
inilah faktanya atau hanya sekedar curahan opiniku saja. Bahwa wayang di zaman
sekarang tidak sepopuler dulu lagi. Di saat-saat berjayanya era Sunan Kalijaga
yang memperkenalkan wayang kulit. Entah apa yang telah terjadi. Sekarang banyak
yang tidak menonton atau bahkan peduli dengan wayang. Mungkin ada yang bilang
itu sudah kuno. Pakemnya yang itu-itu saja yaitu menggunakan bahasa Jawa zaman
Mataram Islam atau bahasa Jawa Krama. Terkadang dililit dengan bahasa Jawa ngoko. Demi membuat gelak tawa penonton.
Dan itu semua masih sulit dipahami orang masa kini. Bahwasanya sekarang adalah
era globalisasi. Berbagai budaya masuk menjamur dan ‘menginfeksi’ budaya asli kita,
termasuk pula ‘infeksi’ dari bahasa asing.
Baiklah,
kembali ke pokok pembicaraan. Wayang memang salah satu budaya yang harus
dilestarikan sebagai tanda bahwa kita punya ciri khas. Budaya yang menjadi roh
dari nenek moyang kita sejak sedari dulu kala. Agar bangsa ini tidak dilanda
kekeringan budaya. Ingat ketika kesenian Reog sempat diklaim oleh Malaysia ?.
Betapa berkobar-kobarnya api kemarahan dari warga Ponorogo mendengar kabar itu.
Jadi, pikirkan jika wayang yang tidak dilestarikan lalu diklaim oleh bangsa
lain. Apa yang akan kau katakan ?. Intinya, menonton wayang adalah salah satu
cara paling mudah untuk tetap menjaga ‘roh’ warisan seniman-seniman Nusantara
agar tetap ada. Coba bayangkan jika aku menyuruhmu untuk menjadi dalang ?
Menjadi sindhen ? Menjadi pengrawit gamelan ?. Lebih sulit bukan ?. Kita tidak
boleh lantas menganggap wayang itu kuno. Lalu meninggalkannya begitu saja.
Setidaknya kita bisa menghargai, mengapresiasi para kreator yang terus berkarya
dengan wayangnya.
Pasti
akan ada pertanyaan. Bagaimana bisa mengapresiasi jika aku tidak paham apa yang
dikatakan oleh dalang dan yang dinyanyikan oleh sindhen ?. Baik, pertanyaan
bagus. Maka dari itu, mari kita belajar dan terus belajar lagi. Tidak apa-apa
jika mulai dari nol. Ini juga berlaku bagi orang yang sudah bisa bahasa Jawa. Karena
belum tentu orang yang bisa bahasa Jawa mengerti bahasa dalam pedalangan. Kita belajar
dahulu apakah bahasa Jawa itu. Ada berapa macam bahasa Jawa dari dari dahulu
hingga sekarang, khususnya ejaan Sriwedari Surakarta. Karena kiblat bahasa Jawa
adalah daerah Solo. Setelah itu, kita buka buku sejarah. Bagaimana sejarah
penggunaan bahasa Jawa. Dari mulai Jawa Kuno, Jawa Pertengahan, Jawa Baru,
hingga Jawa Sekarang. Kebanyakan bahasa dalam tembang macapat yang sering
dilagukan sewaktu pementasan wayang adalah bahasa Jawa Baru, lebih tepatnya
pada zaman kerajaan Mataram Islam. Meski juga tidak menutup kemungkinan penggunaan
bahasa Jawa periode sekarang. Setelah selesai dengan bahasanya, kita bisa
berangkat menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Yaitu membaca buku yang berisi
kisah-kisah dalam pewayangan, dan juga mengetahui tokoh-tokoh wayangnya. Biasanya
adalah cerita Ramayana dan Mahabharata. Memang aslinya cerita tersebut berasal
dari India. Tetapi oleh seniman Jawa, dikreasi dengan memperhatikan norma-norma
yang ada. Beberapa ‘pengalihan’ cerita dilakukan. Jadi tidak 100% meniru.
Dengan
mengetahui kedua hal tadi, kita pasti tidak bingung lagi jika diajak teman
untuk menonton wayang. Tidak bertanya-tanya tentang bahasa apa itu, siapa tokoh
wayang itu, atau pun cerita apa pergelaran wayang itu ?. Yang pasti, semua
pertanyaan itu bisa teratasi dengan sangat mudah. Dan sekarang giliran aku yang
bertanya untuk yang terakhir kalinya.
1. Apakah kita mau belajar tentang dua hal
tersebut ?
2. Apakah kamu benar-benar tulus ingin
melestarikan budaya yang bernilai estetik ini ?
3. Apakah kamu bisa bosan ketika menonton
wayang karena biasanya selesai tengah malam atau menjelang fajar ?
Dan
mungkin pertanyaan lain yang belum sempat aku tulis karena belum terlintas
ketika menulis ini. Dan akhir kata, pertanyaan-pertanyaan akhir tadi bisa
direnungkan sejenak atau bisa langsung dijawab.
Sekian.
Henri Firmansah
0 comments:
Post a Comment