Monday, 17 March 2014

Pergelaran Wayang 15 Maret 2014, Dari Kacamata Awam

Pergelaran Wayang 15 Maret 2014, Dari  Kacamata Awam


            Sang dalang mulai menari-narikan benda takbernyawa di arena. Para penonton mulai melirik sambil mengonsentrasikan fokus mereka di layar takberkaca. Entah ada yang duduk di kursi atau menahan tubuh mereka agar tetap tegak. Alunan nada dari perangkat musik khas Jawa juga mengiringi. Begitu pula dengan suara-suara merdu dari para sinden mewarnai malam itu. Pemandangan sekitar juga menghiasi acara. Ada yang lalu lalang hanya untuk mencari tempat duduk, atau berpindah, atau sekedar mau memotret dari dekat. Lalu coba bayangkan beberapa orang yang menahan beratnya air mineral dan jajanan. Demi meretas asa mencari rezeki di tengah-tengah konsentrasi menonton wayang. Dengan segala fenomena tadi, acara juga terus berjalan. Bahasa Jawa yang sulit dipahami oleh awam juga telah terdengar.

Malam itu, malam minggu, acara pergelaran wayang semalam suntuk yang memperingati Dies Natalis UNS yang ke-38. Boneka-boneka kulit mulai beraksi. Atau lebih tepatnya sang dalang yang memainkannya. Sebenarnya banyak sekali yang aku lihat di momen itu. Aku tahu, aku sendiri adalah mahasiswa jurusan sastra daerah. Meski begitu, aku masih terlalu ‘bingung’ jika ditanya tentang dialog antar tokoh wayang tersebut. Apalagi jujur tokoh wayang saja belum banyak tahu. Lebih parah lagi aku juga belum paham alur episode ketika pergelaran tersebut. Memang maha. Tetapi seorang maha yang baru satu setengah tahun juga perlu belajar lagi. Dan pertanyaannya adalah, bagaimana para penonton bisa memahaminya ?. Lalu tidak ada translator bahasa di samping mereka. Memangnya sebuah film bilinggual yang bisa mengalihbahasakan dialog ?

Memang inilah faktanya atau hanya sekedar curahan opiniku saja. Bahwa wayang di zaman sekarang tidak sepopuler dulu lagi. Di saat-saat berjayanya era Sunan Kalijaga yang memperkenalkan wayang kulit. Entah apa yang telah terjadi. Sekarang banyak yang tidak menonton atau bahkan peduli dengan wayang. Mungkin ada yang bilang itu sudah kuno. Pakemnya yang itu-itu saja yaitu menggunakan bahasa Jawa zaman Mataram Islam atau bahasa Jawa Krama. Terkadang dililit dengan bahasa Jawa ngoko. Demi membuat gelak tawa penonton. Dan itu semua masih sulit dipahami orang masa kini. Bahwasanya sekarang adalah era globalisasi. Berbagai budaya masuk menjamur dan ‘menginfeksi’ budaya asli kita, termasuk pula ‘infeksi’ dari bahasa asing.

Baiklah, kembali ke pokok pembicaraan. Wayang memang salah satu budaya yang harus dilestarikan sebagai tanda bahwa kita punya ciri khas. Budaya yang menjadi roh dari nenek moyang kita sejak sedari dulu kala. Agar bangsa ini tidak dilanda kekeringan budaya. Ingat ketika kesenian Reog sempat diklaim oleh Malaysia ?. Betapa berkobar-kobarnya api kemarahan dari warga Ponorogo mendengar kabar itu. Jadi, pikirkan jika wayang yang tidak dilestarikan lalu diklaim oleh bangsa lain. Apa yang akan kau katakan ?. Intinya, menonton wayang adalah salah satu cara paling mudah untuk tetap menjaga ‘roh’ warisan seniman-seniman Nusantara agar tetap ada. Coba bayangkan jika aku menyuruhmu untuk menjadi dalang ? Menjadi sindhen ? Menjadi pengrawit gamelan ?. Lebih sulit bukan ?. Kita tidak boleh lantas menganggap wayang itu kuno. Lalu meninggalkannya begitu saja. Setidaknya kita bisa menghargai, mengapresiasi para kreator yang terus berkarya dengan wayangnya.

Pasti akan ada pertanyaan. Bagaimana bisa mengapresiasi jika aku tidak paham apa yang dikatakan oleh dalang dan yang dinyanyikan oleh sindhen ?. Baik, pertanyaan bagus. Maka dari itu, mari kita belajar dan terus belajar lagi. Tidak apa-apa jika mulai dari nol. Ini juga berlaku bagi orang yang sudah bisa bahasa Jawa. Karena belum tentu orang yang bisa bahasa Jawa mengerti bahasa dalam pedalangan. Kita belajar dahulu apakah bahasa Jawa itu. Ada berapa macam bahasa Jawa dari dari dahulu hingga sekarang, khususnya ejaan Sriwedari Surakarta. Karena kiblat bahasa Jawa adalah daerah Solo. Setelah itu, kita buka buku sejarah. Bagaimana sejarah penggunaan bahasa Jawa. Dari mulai Jawa Kuno, Jawa Pertengahan, Jawa Baru, hingga Jawa Sekarang. Kebanyakan bahasa dalam tembang macapat yang sering dilagukan sewaktu pementasan wayang adalah bahasa Jawa Baru, lebih tepatnya pada zaman kerajaan Mataram Islam. Meski juga tidak menutup kemungkinan penggunaan bahasa Jawa periode sekarang. Setelah selesai dengan bahasanya, kita bisa berangkat menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Yaitu membaca buku yang berisi kisah-kisah dalam pewayangan, dan juga mengetahui tokoh-tokoh wayangnya. Biasanya adalah cerita Ramayana dan Mahabharata. Memang aslinya cerita tersebut berasal dari India. Tetapi oleh seniman Jawa, dikreasi dengan memperhatikan norma-norma yang ada. Beberapa ‘pengalihan’ cerita dilakukan. Jadi tidak 100% meniru.

Dengan mengetahui kedua hal tadi, kita pasti tidak bingung lagi jika diajak teman untuk menonton wayang. Tidak bertanya-tanya tentang bahasa apa itu, siapa tokoh wayang itu, atau pun cerita apa pergelaran wayang itu ?. Yang pasti, semua pertanyaan itu bisa teratasi dengan sangat mudah. Dan sekarang giliran aku yang bertanya untuk yang terakhir kalinya.
     1.   Apakah kita mau belajar tentang dua hal tersebut ?
     2.   Apakah kamu benar-benar tulus ingin melestarikan budaya yang bernilai estetik ini ?
     3.   Apakah kamu bisa bosan ketika menonton wayang karena biasanya selesai tengah malam atau menjelang fajar ?

Dan mungkin pertanyaan lain yang belum sempat aku tulis karena belum terlintas ketika menulis ini. Dan akhir kata, pertanyaan-pertanyaan akhir tadi bisa direnungkan sejenak atau bisa langsung dijawab.

Sekian.


Henri Firmansah

0 comments:

Post a Comment