JERUK penyelamat
“Ayo
main bola nak, aku yang jadi penjaga gawangnya.”
“Ia
Pa. Aku ambil bola dulu ya !”
Kala
sinar merah menyinari dunia. Itulah momen yang tepat ‘tuk bersama keluarga.
Senja menjelang petang, jikalau waktu mengizinkan, aku selalu menyempatkan diri
untuk bersantai sejenak. Apalagi bersama Stevi. Anakku satu-satunya ini memang
senang sekali bermain dengan si kulit bundar. Sepakbola dan voli sudah menjadi
teman setia. Dan ia juga memiliki kesamaan gen denganku dalam hal hobi. Salah
satunya tidak menyukai basket. Dari kejauhan tampak seorang bidadari
penyelamatku dan Stevi. Semakin mendekat sambil membawa dua gelas berisi air
segar pelepas dahaga.
“Mas,
ajak Stevi minum dan istirahat ya !” Kata istriku sembari menghidangkan es
jeruk
“Wah
es jeruk. Ayo minum dulu Pa” Sahutnya sangat bersemangat
Aku dan Stevi mulai
berbincang-bincang. Tentang benda berwarna orange
tersebut. Sepertinya Stevi sangat menyukai sensasi rasanya yang menggelitik
saraf lidahnya.
“Pa,
ayo kapan-kapan kita beli buah jeruk ya. Manis sekali jeruk buatan mama.”
“Tentu
sajalah. Semanis apa pun jeruk, jelas lebih manis hidup di antara keluarga nak.
Tapi kau tahu Stev, tidak secepat yang kau bayangkan jeruk itu bisa langsung
meluncur ke gelasmu itu. Haha”
“Memangnya
apa maksud Pa ?”
“Sudahlah,
lain kali aja aku ceritakan. Sekarang kamu mandi ya. Hari mulai malam. Jangan
lupa bawa bolanya ke dalam rumah.”
Lampu alami telah lenyap di ujung
cakrawala barat. Berganti sumber sinar buatan manusia. Teman-teman Stevi mulai
berdatangan. Mereka sedang belajar PKN. Dengan materinya yaitu sikap rendah
hati. Jam sembilan malam. Teman-teman Stevi segera berpamitan. Di malam itu
pula aku berjanji kepada Stevi untuk mengajaknya ke toko buah. Stevi pun senang
sekali dan segera tidur.
***
Ketika siklus alam masih berputar
seperti biasa, Stevi juga memulai daur hidupnya dengan bangun lalu mandi,
kemudian menyantap sumber energi kaya akan gizi yang telah ada di depan tv.
Setelah mengucap salam, ia bergegas berangkat sekolah. Motor, mobil, dan sepeda
jarang yang melintas mewarnai pagi ini. Berbagai pedagang pinggir jalan mulai
meretas asa mencari rezeki. Ada pula loper koran yang melintas. Satu hal yang
membuat mata Stevi langsung tersengat adalah pemandangan tepat di depan
hidungnya. Pikirannya mulai kacau terinfeksi olehnya. Bukan seorang gadis cantik
karena Stevi masih kelas 4 SD. Melainkan adanya berbagai tumpukan buah jeruk
yang kelihatan menggoda otak Stevi kala itu. Tanpa peduli kanan kiri, Stevi
langsung melangkahkan kedua kakinya dengan cepat ke arah seorang kakek tua
penjual jeruk tersebut.
Dan siapa pun takkan pernah bisa
menduga kejadian ini. Dari kejauhan tampak pengendara motor yang melaju
bagaikan motto gp. Sontak pengendara
tersebut hampir menabrak Stevi. Kakek tersebut melihat hal itu. Tanpa
memedulikan usianya, kakek itu langsung berlari menuju Stevi. Lalu mendorong
Stevi dan akhirnya BRUKKKK. Suara motor yang terdengar keras memekikkan telinga
karena telah menabrak seseorang.
“Astaga,
kakek, kau tidak apa-apa kan ?” Tanya pengendara motor itu panik
Setelah agak sadar, terciumlah bau
darah segar mengalir di dekat Stevi. Stevi melihat seorang kakek yang terkapar
di tengah jalan. Stevi kaget melihat hal itu. Si pengendara motor itu pun
segera membawa kakek ke RS terdekat. Stevi ingin ikut ke RS karena sangat
prihatin dengan keadaan kakek itu. Tetapi si pengendara motor itu mengatakan
bahwa Stevi harus segera sekolah. Sambil memberinya alamat RS yang akan ditujunya.
Dengan wajah yang sangat muram juga hati yang tersentuh karena kakek tadi,
Stevi terus berjalan menuju tempat pembelajaran. Juga tidak lupa ia berdoa
semoga kakek tersebut segera sembuh.
Sepulang sekolah, Stevi langsung
makan lalu istirahat. Rencananya, sore ini aku akan mengajak Stevi ke toko
buah. Tetapi aku tidak tahu kenapa dengan Stevi. Wajahnya yang merana,
semangatnya entah dicuri oleh siapa, bahkan satu kata pun belum terdengar
darinya.
“Stev,
ada masalah apa ? Kok kelihatannya kamu tidak bersemangat. Nanti kan mau beli
jeruk.” Aku pun coba menghiburnya
“Tidak
ada apa-apa Pa.” Jawabnya sambil masih tertunduk
“Baiklah.
Kalau begitu kamu segera siap-siap ya. Kita akan beli buah jeruk kesukaanmu”
Lalu kami berdua pun berangkat
menuju ke rumah buah. Sesampainya di sana, banyak sekali pemandangan yang
seharusnya membuat Stevi kegirangan. Berbagai jeruk menampilkan paras moleknya.
Seperti di acara pameran gaun di Prancis. Pesertanya ada dari lokal maupun
impor. Entah sejauh berapa kilometer asal mula jeruk itu sampai ke gedung
pementasan ini. Entah berapa lamanya biji bisa tumbuh menjadi pohon lalu
menghasilkan buah jeruk. Tetapi Stevi tetap saja menundukkan pandangannya. Aku
tidak tahu kenapa ia bisa terlihat sesedih ini. Akhirnya kami pun keluar dari
toko dengan tangan hampa. Dalam suasana yang kian memburuk, aku menyempatkan
diri untuk bertanya sekali lagi kepada anakku tersebut.
“Ada
apa nak ? Ceritakanlah pada bapak. Jangan disimpan sendiri donk !”
Stevi masih belum menjawab
pertanyaanku. Kulihat digenggaman tangan kanannya ada kertas. Aku coba meminta
Stevi untuk membukanya. Ternyata bertuliskan alamat RS.
“Pa,
ayo kita pergi ke RS ini. Aku ingin bertemu dengan orang itu Pa.” Stevi pun
mulai meneteskan air-air kesedihan.
Meski aku belum tahu isi hati Stevi,
demi membuatnya kembali bersinar cerah lagi, aku segera mengantarkan Stevi ke
RS yang dimaksud. Sesampainya di sana, aku dan Stevi segera mencari ruangan
yang ingin dituju Stevi. Berbagai lekuk koridor yang berliku-liku,
berbelok-belok, dan membingungkan bak labirin tidak membuat Stevi patah
semangat. Ia terus berusaha menemukan ruangan tempat seseorang sedang dirawat.
Dan, inilah kamar yang dimaksud. Aku dan Stevi membuka pintu yang di dalamnya
berisi semua pertanyaanku. Aku lihat ada seorang yang duduk di samping kakek
yang terbujur lemah di kasur. Seketika Stevi langung bergegas ke samping kakek
tersebut.
“Kakek,
apa kakek baik-baik saja ? Aku takkan pernah melupakan kejadian tadi. Betapa
hebatnya kakek yang tidak peduli usia dan juga resiko hanya untuk
menyelamatkanku.”
“Tunggu,
kakek itu tadi kenapa ?” Aku pun bertanya kepada seorang yang duduk
“Sebelumnya,
maafkan aku dulu pak. Tadi pagi aku melaju dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba
anakmu itu menyeberang tanpa memperhatikan keadaan. Karenanya, aku hampir
menabraknya. Sampai ada seorang kakek penjual buah jeruk yang menyelamatkan
anakmu.” Jelasnya panjang lebar
“Hmm,
jadi ini penyebabnya. Anakku yang biasanya bersemangat langsung 180 derajat
berbalik suram, kelam, hingga terlihat tenggelam.” Kataku dalam hati
Mendengar cerita dari anakku dan
pengendara tersebut, aku pun sangat terharu akan kebaikan seorang kakek tua
penjual jeruk itu. Tanpa memedulikan resiko atau pun dirinya sendiri, ia
mengorbankan keselamatannya demi anak orang lain. Aku yakin kakek itu adalah
contoh orang yang sangat rendah diri dan baik hatinya jarang dimiliki orang.
Beberapa saat kemudian, kakek itu sadar. Ia melihat Stevi. Anak yang ia
selamatkan tadi pagi. Melihat kakek itu telah mulai mengamati sekitar, Stevi
langsung menuju lagi ke dekat kakek sambil menangis tersedu-sedu hingga deras
air matanya terus mengalir takterbendung. Betapa tersentuh hatinya melihat
keadaan kakek itu setelah menyelamatkannya.
“Hei
nak. Bagaimana keadaanmu ? Baik-baik saja kan ?”
“Aku
selamat kek, atas pengorbanan kakek tadi pagi. Bagaimanapun kakek adalah orang
yang luar biasa. Aku takkan melupakan momen pagi tadi kek.”
“Syukurlah.
Yang penting kamu bisa terus sehat dan selamat. Karena kamu masih punya masa
depan yang panjang. Untuk dirimu dan orang-orang di sekitarmu.”
“Ia
kek. Kalau tidak ada kakek, apa yang ‘kan terjadi selanjutnya.”
“Tidak
apalah nak. Selanjutnya, kamu harus berhati-hati ya. Bisa saja sekitarmu
menjadi jahat atau baik kepadamu. Bisa menguntungkan atau merugikanmu. Jangan
lupa juga kamu bersyukur kepada Tuhan. Karena Dialah penyelamat kita
sesungguhnya.”
Kata-kata dari kakek itu memang
sangatlah bijak. Aku coba memaknai tiap untaian kata-kata mutiaranya. Sungguh
indah nan penuh makna. Senja menjelang berganti malam. Aku dan Stevi segera
pamitan. Sebelumnya, Stevi mengajakku ke bagian administrasi RS. Stevi meminta
penjaga administrasi menghubunginya jika kakek itu telah pulih semua
luka-lukanya.
***
Dua minggu telah berlalu. Aku
mendapat kabar dari RS bahwa kakek penjual buah jeruk telah sembuh. Begitu
mengetahuinya, Stevi langsung bergegas mengajakku menuju rumahnya. Kami berdua
berangkat menuju alamat yang diberi oleh petugas RS. Melewati jalan desa yang
banyak jebakannya. Banyak pepohonan yang terlihat berjalan di pinggir jalan. Rumah-rumah
berlapis besi alami dan warga yang suka menyapa mewarnai perjalanan menuju
rumah kakek itu. Suasana bersahabat memang mencerminkan warganya. Setelah
melewati berbagai halang rintang, akhirnya kami sampai di rumah seorang
penyelamat yang takkan terlupakan.
Begitu sampai di rumah kakek penjual
jeruk, Stevi langsung berlari memeluk kakek itu. Setelah hari-hari sebelumnya
aku berdiskusi dengan istriku tentang keinginan Stevi. Aku pun akan mengatakannya.
Tetapi sebelum mulutku mengucapkan sihir ajaib perubah segala, anakku juga
mengeluarkan sihirnya terlebih dulu. Lalu membuat sihirku gagal.
“Kakek,
karena kakek sangat baik aku akan memberikan sihir ini kepada kakek.” Katanya
manis
“Ada
apa memangnya nak ? Katakan sekarang sihirnya, haha”
“Baiklah.
Abrakadabra, bim salabim. Besok kakek
bawa semua buah-buahnya ke warung yang telah aku, bapak, dan ibuku buat untuk
kakek. Agar aku bisa selalu membeli buah jeruk kakek.”
“Wah,
kau anak yang baik sekali. Semoga kamu nanti bisa terus tumbuh menjadi anak
yang berbakti kepada orang tua. Semoga juga bisa mendapatkan semua impianmu.”
“Ia
kek. Terima kasih banyak ya kek. Dan semoga ke depannya masa depan kita semakin
cerah.”
TAMAT