Tuesday 24 June 2014

Sawah dan Perjuangan

Sawah dan Perjuangan

                        Di sebuah tempat yang hijau nan rindang, Aku sedang memandangi pemandangan indah yang semakin kehilangan rona estetisnya. Sungai, tak sejernih dulu. Rimbun pohon bambu, tak sebanyak dulu. Rumput dan ilalang, juga tak seliar dulu. Sawah pun, tak selebar dulu. Bahkan serangga, tak semenjengkelkan dulu. Banyak yang berubah. Setelah kepergianku enam tahun yang lalu. “Ataukah aku yang membuat keindahan ini berubah ?”
***

            Enam tahun yang lalu, Aku berlabuh di kota budaya yang kata orang-orang disebut Solo. Aku berada di situ karena dua hal. Pertama karena keinginan kerasku untuk kuliah di jurusan DKV1. Kedua karena kebaikan luar biasa dari kedua orang tuaku tercinta. Meski dengan pengorbanan yang luar biasa pula. Lapangan hijau yang dulu tempatku bermain dengan hewan liar dan piaraanku. Tempat itu juga menghasilkan biji putih yang bisa dimakan, disimpan, ataupun dijual. Ya, sebagian sawah keluarga telah dijual hanya untuk membiayai kuliahku. Dan dengan semangat yang membara, aku mulai menjalani masa-masa penggodhokan2 di kawah candradimuka.

            Dua semester telah kulewati dengan lumayan lancar. Dua semester awal ini, aku mendapatkan nilai yang stagnan. Ya, IP-ku selalu 3 pas. Meski begitu, aku akan mencoba untuk lebih giat kuliah lagi. Kuperbaiki kemampuan menggambar, memotret, mendesain berbagai logo, poster, pamflet, iklan, video, dan olah imajinasiku. Di saat aku sedang asyik dengan mouse yang bergerak-gerak di sampingku, tiba-tiba ada peringatan berbunyi seperti bom meledak. “Oh ternyata hpku ada sms masuk” Kataku dalam hati.

1 Pesan diterima
Henri, adikmu sedang sakit parah. Ia sakit TBC dan sedang di RS Aisyah dekat alun-alun kota. Kamu besok pulang ke Ponorogo bisa apa gx ?
Pengirim     : Pak Supardi
081234xxx
Diterima     : 12:22:13
Hari ini

            Berita itu sontak menyetrum hatiku setara dengan kilatan guntur yang terjadi di siang bolong. Bagaimana tidak, tugas membuat desain logo perusahaan air dan permintaan ketua organisasi pers untuk membuat pamflet lomba futsal masih belum selesai. Tetapi demi adikku satu-satunya ini, kurelakan melepaskan segala kesibukan dunia kampus untuk sejenak menengok dan memberinya semangat agar bisa melewati hari-hari sulitnya. Dua hari telah berlalu tanpa ada kabar bagus dari dokter yang merawat adikku. Malah makin hari tubuhnya makin kurus. Dan mungkin inilah waktunya untuk mengucapkan kata-kata penyemangat agar ia bisa melewati fase terakhir dalam hidupnya. Ya benar. Ia telah meninggalkan kami sekeluarga. Aku pun harus berada di rumah lebih lama lagi sampai selesai mengurus penguburan adikku tersayang.

            Aku kembali ke Solo setelah sekitar seminggu berada di kota reog. Dan banyak kabar buruk yang pasti datang sewaktu aku pergi. Satu minggu yang berlalu, membawa masalah baru. Tumpukan tugas setinggi gedung lima lantai harus aku taklukan semuanya. Kujalani masa-masa sulit yang lebih dari biasanya. Duduk terpaku di depan laptop selama seharian penuh. Makan satu kali sehari. Tidur hanya dua sampai tiga jam per hari. Jarang mandi pula. Apalagi ganti baju. Kulupakan jadwal main ke organisasi. Demi mengejar berbagai tugas. Kulakukan demi nilai. Dan semangat akan pengorbanan dari kedua orang tuaku dalam membiayaiku. Di saat injury time, aku pun berhasil menyerahkan semua tugas yang aku kerjakan tepat di meja dosenku. Masalah lama telah selesai, tetapi masalah baru telah muncul. Tubuhku terasa berbeda. Kesadaranku makin memudar. Pandanganku mulai kabur. Bahkan suara celotehan orang lain dari meja sebelah makin tak terdengar.
***

“Hen, kau sudah sadar ? Ini ayah dan ibu Hen ?”
“...”
“Hen ...”
            Kulihat kedua orang tuaku berdiri di depanku. Aku taktahu apa yang terjadi barusan. Yang aku ingat adalah ketika terakhir kali aku berada di ruang dosen itu. “Kau telah pingsan selama hampir dua minggu Hen. Diakibatkan kamu terlalu memaksakan diri sampai kurang makan, tidur, dan istirahat” Kata seorang dokter di sebelah samping kananku.

            Aku masih belum bisa percaya. Kenapa bisa selama itu aku tertidur. Tertidur dan tiada yang bangunkanku. Dan bagaimana kabar dari tugasku kemarin ? Atau apakah aku terlambat mengucapkan selamat datang kepada tugas baru. Semuanya bercampur baur di dalam satu otak. “Tenanglah Hen, kamu harus istirahat dahulu. Tugas itu bisa dicicil sedikit demi sedikit. Biarpun nilainya kurang bagus, yang penting kamu telah berusaha” Kata Ibuku yang penuh dengan untaian kebijaksanaan tiada tara.

            Setelah selesai berurusan dengan rumah sakit, aku pun bisa kembali ke kosku lagi. Kuucapkan terima kasih kepada dokter beserta susternya. Ibu dan ayahku. Satu hal lagi. Tuhanku yang masih memberiku kesehatan lagi. Sesampaiku di kos, aku terkejut tapi takmampu untuk lompat. Bercampur dengan perasaan kesal, sedih, jengkel, dan marah. Honda merah bernomor plat AE 6917 SA telah berpindah ke tangan orang yang tak diketahui. Pemilik kos itu memang anjing. Ingin kutendang gerbang depan kosnya. Ingin kupecahkan kaca-kacanya. Ingin kubanting pot bunga di rumahnya. Bahkan ingin kuhajar sang pemilik kos itu yang taksanggup menjaga barang berhargaku sewaktu kutertidur. Tapi aku takberani karena kemarahan hanya akan membuat masalah baru. Aku mulai memasuki kamarku yang telah lama kutinggalkan. Dan kali ini aku takbisa untuk menahan diri lagi. “Dimana laptop dan kameraku yang sangat berharga itu ?” Teriakku sambil kutendang tembok kamarku.

            Hari-hari pun kian berlalu. Kupikir untuk tak melaporkan semua ini ke polisi. Ya, polisi memang siput. Hanya menghambat selesainya masalah. Aku semakin frustasi. Ini pun membuatku semakin jauh dari kata semangat untuk hidup. Uang yang tersisa kujadikan sasaran. Berbagai obat-obat penenang coba aku tengguk. Aku makin takpedulikan kanan kiri. Aku pun berjalan ke sana kemari tanpa tujuan yang jelas. “Kuliah ini tak ada gunanya lagi” Kataku dalam hati. Di saat langit malam yang penuh dengan hiasan bintang, mataku terasa berat. Kucoba untuk tidur di tumpukan jerami kering. Sambil terkadang merasakan geronjalan dan serasa melayang. Aku tak peduli.
***

            Suara gemerisik dari roda tralis membuyarkan tidurku. Pintu gerbang lipat berkata bahwa aku harus segera membuka mata. Tiba-tiba kepalaku terbentur dengan kayu. Lalu entah kenapa kaki dan tanganku terasa terlipat, takbisa kuluruskan. Bau sinar pagi membuat pemandangan sekitar mulai menampakkan dirinya. Sampai kusadari aku berada di dalam kotak kayu. Kucoba untuk membukanya perlahan. Ketika aku berhasil keluar dari tempat tidurku itu, tiba-tiba ada suara yang menyambarku dari kejauhan. “Tarno, angkat kotak-kotak yang ada di sebelahmu itu. Segera, sebelum truk pengantar barang datang kemari” Ucapnya dengan tegas. Aku pun takpeduli akan perintah dari orang yang tak kukenal itu. Tetapi ia justru mendekat ke arahku.

“Kau siapa ? Kenapa bisa ada di sini ?”
“Maaf pak, nama saya Henri. Saya tak tahu apa yang terjadi. Seingatku tadi malam aku tidur nyenyak dan sekarang malah berada di sini”
“Baiklah Henri, aku takpeduli apakah kamu yang telah menggantikan Tarno karena ia telah menghilang beberapa hari yang lalu. Kalau begitu, segera angkat kotak-kotak itu”

            Aku taktahu dengan pikiranku kali ini. Setelah menengguk obat-obatan aneh kemarin, rasanya diriku seperti air mengalir. Tangan-tanganku segera meraih kotak-kotak selebar setengah meter itu dan mengantarkannya ke depan gerbang toko. Sembari mengangkati kubus-kubus itu, kulihat nama dari toko ini. “Ternyata orang tadi namanya Pak Gunawan ya!” Bisikku perlahan. Lalu aku pun menjalani hari-hariku sebagai pekerja serabutan di situ untuk beberapa waktu lamanya.
***

            Suatu hari yang teriknya sangat memanggang punggung, aku baru saja pulang dari toko sebelah. Sehabis mengantarkan beberapa pesanan cat tembok ukuran jumbo. Secara mengejutkan aku dipanggil Pak Gunawan untuk menemuinya. Aku pun dipersilahkan duduk dulu sementara ia membuka aplikasi coreldraw-nya.

“Henri, apa kamu yang membuat logo ini ?”
“Ia pak, maafkan atas kelancangan saya ya. Kemarin itu waktu jam istirahat, aku coba iseng membuat logo lagi. Sudah lama tidak berkutat dengan mesin pembuat gambar flat, hehe”
“Begini Hen. Ini logonya lain daripada yang lain. Bisa kukatakan bahwa logo hasil buatanmu ini akan membuat tokoku menjadi keren. Besok akan aku pasang di depan toko”
“Wah, bapak bisa saja. Itu sih hanya iseng pak. Dan masih belum seberapa dibandingkan dengan logo yang aku buat dahulu”
“Hmm, kurasa kau harus segera menghubungi temanku ini. Aku yakin kau pasti diterima”

            Pak Gunawan pun beranjak dari kursinya. Bergegas mencari sesuatu. Kutunggu dengan sabar. Lima menit kemudian, ia datang sambil membawa selembar pamflet lamaran kerja. “Hen, kau coba hubungi pak Liu Wan. Ia adalah pemilik perusahaan percetakan iklan yang besar di kota ini. Katakan saja bahwa kamu kenal Pak Gunawan. Pasti ia akan menerimamu. Jangan lupa pula bawa file ini sebagai tanda bahwa kau telah bekerja di tokoku” Demikian saran dari Pak Gunawan kepadaku.

            Keesokan harinya, aku coba berangkat ke perusahaan yang dimaksud di pamflet kemarin. Bus arah Depok coba aku isyaratkan untuk mengantarkanku ke sana. Sesampainya di depan pintu perusahaan, aku coba melangkahkan kaki dan hatiku sambil berdoa agar semuanya lancar. Berbagai interview dan adu desain dengan berbagai saingan telah kulalui. Dan hasilnya sungguh membuatku bersujud syukur. Kontrak kerja selama lima tahun dengan kenaikan gaji secara bertahap telah aku tanda tangani. Selama sekitar setahun bekerja di perusahaannya Pak Liu Wan, aku telah berhasil mengembalikan semua barang-barangku yang hilang sewaktu kuliah. Mungkin inilah saatnya untuk pulang ke tanah kelahiran. Waktunya untuk mengembalikan satu hal lagi yang hilang.
***

            Liburan panjang akhir tahun telah tiba. Dengan menaiki Honda merah berplat B 1769 AF, aku coba mengarungi pantura. Ketika aku beristirahat di sebuah pom bensin, kucoba bayangkan ketika aku berada di Solo sampai bisa berpindah ke Jakarta. Entah apa yang terjadi setelah aku tertidur di tumpukan jerami dengan keadaan sangat mabuk. Ratusan  kilometer pun kulalui. Dengan berbagai deru suara motor, mobil, bus, truk, dan yang lainnya. Sering kali aku salip menyalip dengan pengendara lain. Bahkan hampir berserempetan dengan kendaraan lain. Hantaman ribuan titik-titik air dari langit dan sengatan sinar tak kupedulikan. Melewati beberapa wilayah kabupaten dan kota secara silih berganti. Debu dan asap kendaraan juga temani perjalananku ini. Demi mencapai istana tercinta.
***

            Beberapa hari perjalanan dari ibukota negara menuju desaku tercinta. Akhirnya aku melewati gerbang reog. Sambil mengingat kenangan beberapa tahun yang lalu. Lima menit setelah itu, sampailah aku di sini, tempat yang menyimpan berbagai memori indah dari mulai kecil sampai remaja. Ketika aku sampai di depan rumah, tiba-tiba ibu, ayah, kakek, nenek, dan beberapa tetanggaku tampak heran. Hening. Sunyi. Tak sepatah kata terucap. Tak pula gerak badan seperti sapaan khas orang desa. Sampai satu menit setelah itu aku berteriak. “AKU PULANG ...”.

            Langsung kupeluk kedua orang tuaku. Lalu kepada nenek dan kakekku pula. Para tetanggaku mulai bertanya-tanya. Lalu aku pun menceritakan semua pengalamanku. Sampai aku mengeluarkan air mata kesedihan ketika tidak bisa menghubungi keluargaku karena aku juga kehilangan hp beserta semua kontaknya. Jadi selama itu, aku sama sekali tak mengabari orang-orang rumah. Dan inilah hasil dari berbagai pengalaman indah yang takkan terlupa.

            Keesokan hari setelah kepulanganku, aku coba menengok sekitar. Sawah belakang rumah yang dulu adalah sawah keluargaku sekarang menjadi milik orang lain. Ibuku mengatakan bahwa sawah belakang rumah terpaksa dijual untuk membayar biaya perawatan sampai penguburan adikku. Sungguh tragis pada kenyataanya. Sawah pun harus sia-sia karena takbisa membuat adikku sembuh dari penyakitnya. Dan sekarang malah menjadi rumah bertingkat dua. Lalu sungai yang ada di sampingnya menjadi mengerikan. Baunya seperti bunga bangkai, ah malah lebih dari itu. Mungkin bisa kukatakan baunya seperti campuran tinja, nanah, borok, kencing, daging busuk, bangkai ternak, beserta sampah lainnya. Lalu sawah kenanganku waktu kecil. Kini telah berubah menjadi pabrik pengolahan tebu. Tetapi kebanyakan masalahnya hampir sama. Jika sawah-sawah itu ada di dekat jalan pedesaan, pasti berubah menjadi rumah. Rumah yang luas nan mewah. Jika ada di dekat jalan raya, pasti bertransformasi menjadi rumah makan, bengkel, toko, minimarket, sekolah, atau gedung-gedung perusahaan.

            Setelah aku melakukan pengamatan ke sana kemari, saatnya kuputuskan satu hal. Akan kuucapkan komitmenku. Laksana Gajah Mada dengan sumpah palapanya. Aku pun akan melakukannya pula. Tentu dengan gayaku sendiri. Seperti kata yang tercoret di baliho. Bali desa mbangun desa3. “Ibu, ayah, nenek, dan kakekku tercinta, aku akan mengembalikan semua yang telah kalian berikan padaku sewaktu dulu. Pengorbanan kalian semua, ‘kan kubayar lunas setuntas-tuntasnya” Ucapku dengan penuh semangat.
                                                            *************

Catatan:
1.                  DKV = Desain Komunikasi Visual
2.                  Penggodhokan = pengolahan
3.                  Bali desa mbangun desa = kembali ke desa membangun desa

0 comments:

Post a Comment