Potret Alam

Kabut yang menyerang hutan.

Potret Alam

Penyerangan masih berlanjut.

Potret Alam

Pohon-pohon juga terserang.

Potret Alam

Jalan menjadi berselimut kabut.

Potret Alam

Hutan kian berkabut tebal.

Sunday 30 March 2014

Mimpi

Mimpi

Ingatan akanmu
Buatku hilang
Kelam
Tenggelam
Terbang
Melayang
Betapa rona senyummu
Lembutnya sikap anggunmu
Manisnya untaian tutur katamu
Terkenang dalam hati
Terbawa dalam mimpi
Engkau, bunga kalbuku

Thursday 20 March 2014

Siapa Tahu

Siapa tahu

Siapa tahu manisnya gula
Jika tak mencecapnya
Siapa tahu halusnya sutera
Jika tak merabanya
Siapa tahu harumnya kenanga
Jika tak menghirup aromanya
Siapa tahu indahnya mustika
Jika tak memandangnya
Siapa tahu merdunya irama
Jika tak mendengarnya
Siapa tahu isi hatinya
Jika tak segera menanyakannya



Monday 17 March 2014

Pergelaran Wayang 15 Maret 2014, Dari Kacamata Awam

Pergelaran Wayang 15 Maret 2014, Dari  Kacamata Awam


            Sang dalang mulai menari-narikan benda takbernyawa di arena. Para penonton mulai melirik sambil mengonsentrasikan fokus mereka di layar takberkaca. Entah ada yang duduk di kursi atau menahan tubuh mereka agar tetap tegak. Alunan nada dari perangkat musik khas Jawa juga mengiringi. Begitu pula dengan suara-suara merdu dari para sinden mewarnai malam itu. Pemandangan sekitar juga menghiasi acara. Ada yang lalu lalang hanya untuk mencari tempat duduk, atau berpindah, atau sekedar mau memotret dari dekat. Lalu coba bayangkan beberapa orang yang menahan beratnya air mineral dan jajanan. Demi meretas asa mencari rezeki di tengah-tengah konsentrasi menonton wayang. Dengan segala fenomena tadi, acara juga terus berjalan. Bahasa Jawa yang sulit dipahami oleh awam juga telah terdengar.

Malam itu, malam minggu, acara pergelaran wayang semalam suntuk yang memperingati Dies Natalis UNS yang ke-38. Boneka-boneka kulit mulai beraksi. Atau lebih tepatnya sang dalang yang memainkannya. Sebenarnya banyak sekali yang aku lihat di momen itu. Aku tahu, aku sendiri adalah mahasiswa jurusan sastra daerah. Meski begitu, aku masih terlalu ‘bingung’ jika ditanya tentang dialog antar tokoh wayang tersebut. Apalagi jujur tokoh wayang saja belum banyak tahu. Lebih parah lagi aku juga belum paham alur episode ketika pergelaran tersebut. Memang maha. Tetapi seorang maha yang baru satu setengah tahun juga perlu belajar lagi. Dan pertanyaannya adalah, bagaimana para penonton bisa memahaminya ?. Lalu tidak ada translator bahasa di samping mereka. Memangnya sebuah film bilinggual yang bisa mengalihbahasakan dialog ?

Memang inilah faktanya atau hanya sekedar curahan opiniku saja. Bahwa wayang di zaman sekarang tidak sepopuler dulu lagi. Di saat-saat berjayanya era Sunan Kalijaga yang memperkenalkan wayang kulit. Entah apa yang telah terjadi. Sekarang banyak yang tidak menonton atau bahkan peduli dengan wayang. Mungkin ada yang bilang itu sudah kuno. Pakemnya yang itu-itu saja yaitu menggunakan bahasa Jawa zaman Mataram Islam atau bahasa Jawa Krama. Terkadang dililit dengan bahasa Jawa ngoko. Demi membuat gelak tawa penonton. Dan itu semua masih sulit dipahami orang masa kini. Bahwasanya sekarang adalah era globalisasi. Berbagai budaya masuk menjamur dan ‘menginfeksi’ budaya asli kita, termasuk pula ‘infeksi’ dari bahasa asing.

Baiklah, kembali ke pokok pembicaraan. Wayang memang salah satu budaya yang harus dilestarikan sebagai tanda bahwa kita punya ciri khas. Budaya yang menjadi roh dari nenek moyang kita sejak sedari dulu kala. Agar bangsa ini tidak dilanda kekeringan budaya. Ingat ketika kesenian Reog sempat diklaim oleh Malaysia ?. Betapa berkobar-kobarnya api kemarahan dari warga Ponorogo mendengar kabar itu. Jadi, pikirkan jika wayang yang tidak dilestarikan lalu diklaim oleh bangsa lain. Apa yang akan kau katakan ?. Intinya, menonton wayang adalah salah satu cara paling mudah untuk tetap menjaga ‘roh’ warisan seniman-seniman Nusantara agar tetap ada. Coba bayangkan jika aku menyuruhmu untuk menjadi dalang ? Menjadi sindhen ? Menjadi pengrawit gamelan ?. Lebih sulit bukan ?. Kita tidak boleh lantas menganggap wayang itu kuno. Lalu meninggalkannya begitu saja. Setidaknya kita bisa menghargai, mengapresiasi para kreator yang terus berkarya dengan wayangnya.

Pasti akan ada pertanyaan. Bagaimana bisa mengapresiasi jika aku tidak paham apa yang dikatakan oleh dalang dan yang dinyanyikan oleh sindhen ?. Baik, pertanyaan bagus. Maka dari itu, mari kita belajar dan terus belajar lagi. Tidak apa-apa jika mulai dari nol. Ini juga berlaku bagi orang yang sudah bisa bahasa Jawa. Karena belum tentu orang yang bisa bahasa Jawa mengerti bahasa dalam pedalangan. Kita belajar dahulu apakah bahasa Jawa itu. Ada berapa macam bahasa Jawa dari dari dahulu hingga sekarang, khususnya ejaan Sriwedari Surakarta. Karena kiblat bahasa Jawa adalah daerah Solo. Setelah itu, kita buka buku sejarah. Bagaimana sejarah penggunaan bahasa Jawa. Dari mulai Jawa Kuno, Jawa Pertengahan, Jawa Baru, hingga Jawa Sekarang. Kebanyakan bahasa dalam tembang macapat yang sering dilagukan sewaktu pementasan wayang adalah bahasa Jawa Baru, lebih tepatnya pada zaman kerajaan Mataram Islam. Meski juga tidak menutup kemungkinan penggunaan bahasa Jawa periode sekarang. Setelah selesai dengan bahasanya, kita bisa berangkat menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Yaitu membaca buku yang berisi kisah-kisah dalam pewayangan, dan juga mengetahui tokoh-tokoh wayangnya. Biasanya adalah cerita Ramayana dan Mahabharata. Memang aslinya cerita tersebut berasal dari India. Tetapi oleh seniman Jawa, dikreasi dengan memperhatikan norma-norma yang ada. Beberapa ‘pengalihan’ cerita dilakukan. Jadi tidak 100% meniru.

Dengan mengetahui kedua hal tadi, kita pasti tidak bingung lagi jika diajak teman untuk menonton wayang. Tidak bertanya-tanya tentang bahasa apa itu, siapa tokoh wayang itu, atau pun cerita apa pergelaran wayang itu ?. Yang pasti, semua pertanyaan itu bisa teratasi dengan sangat mudah. Dan sekarang giliran aku yang bertanya untuk yang terakhir kalinya.
     1.   Apakah kita mau belajar tentang dua hal tersebut ?
     2.   Apakah kamu benar-benar tulus ingin melestarikan budaya yang bernilai estetik ini ?
     3.   Apakah kamu bisa bosan ketika menonton wayang karena biasanya selesai tengah malam atau menjelang fajar ?

Dan mungkin pertanyaan lain yang belum sempat aku tulis karena belum terlintas ketika menulis ini. Dan akhir kata, pertanyaan-pertanyaan akhir tadi bisa direnungkan sejenak atau bisa langsung dijawab.

Sekian.


Henri Firmansah

Tuesday 11 March 2014

Mawar Lintang

Mawar Lintang














kembang  mawar,  sumebar  ing  taman  sriwedari
anamung  setunggal,  ingkang  gawe  tentreming  ati
lintang-lintang,  kasebar  ana  ing  gegana
anamung  setunggal,  ingkang  gawe  tentreming  prana
mawar  karo  lintang  iku
isih  kalah  katimbang  ayuning  sliramu

cah  ayu,  entenana  lamaranku

Kritik Sastra

Kritik Sastra

William Henry Hudson1
“Perkataan kritik (criticism) dalam artinya yang tajam adalah penghakiman (judgement), dan dalam pengertian ini biasanya memberi corak pemakaian kita akan istilah itu, meskipun bila kata itu dipergunakan dalam pengertian yang paling luas. Karena itu kritikus sastra pertama kali dipandang sebagai seorang ahli yang memiliki suatu kepandaian khusus dan pendidikan untuk mengerjakan suatu karya seni sastra atau pekerjaan penulis tersebut memeriksa kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya dan menyatakan pendapatnya tentang hal itu.”
I.A. Richards
Kritik adalah usaha untuk membeda-bedakan pengalaman (jiwa) dan memberi penilaian kepadanya.
M.H. Abrams
Kritik sastra adalah studi yang berhubungan dengan pendefinisian, penggolongan, analisis, penguraian, dan penilaian (evaluasi).
Jadi :
Dalam kritik sastra suatu karya sastra diuraikan (dianalisis) unsur-unsurnya atau norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu per satu, kemudian ditentukan berdasarkan teori-teori penilaian karya sastra, bernilai atau tidak bernilaikah, bermutu seni atau tidak bagian-bagian atau unsur-unsur karya sastra yang diselidiki atau yang dianalisis itu. Baru sesudah itu, dengan pertimbangan-pertimbangan seluruh penilaian terhadap bagian-bagian yang merupakan kesatuan yang erat, dengan menimbang mana yang bernilai dan mana yang tidak atau kurang bernilai, maka kritiku baru menentukan karya tersebut bernilai tinggi, sedang, kurang bernilai, atau tidak bernilai sastra.
Kritik dan kritikus sastra
Baik buruk kritik sastra berhubungan dengan kepandaian pribadi seorang kritikus.
Kritikus harus memiliki kompetensi :
1.      Teori sastra : teori penilaian
2.      Sejarah sastra
3.      Ilmu filsafat
4.      Ilmu sejarah
5.      Ilmu sosiologi
6.      Ilmu psikologi
7.      Bahkan sampai ilmu eksakta, etika, moral, agama, dan sebagainya
Seorang kritikus adalah hakim. Maka ia harus adil. Kritikus harus berpegang pada :
1.      Kejujuran
2.      Kebenaran
3.      Tidak terpengaruh sentimen
4.      Dengan kata lain bersikap objektif
Fungsi kritik sastra
1.      Bagi ilmu sastra : teori sastra dibangun dari hasi kritik
2.      Bagi perkembangan kesusastraan : sejarah sastra (perkembangan penggunaan unsur bunyi, kombinasi kata, gaya, perbandingan, tema, filsafat, moralitas, dll) perlu ber-dasar kritik
3.      Bagi masyarakat : dengan keterangan dan analisis karya sastra yang dibeberkan oleh kritikus, masyarakat dapat lebih memahami karya sastra
Pun begitu juga W.H. Hudson2 menulis dalam bukunya.
“Fungsi yang terutama bagi kritik sastra ialah memperjelas dan memberi dorongan. Bila seorang penyair besar membuat kita menjadi orang yang turut mengalami (memiliki) perasaan yang luas tentang arti hidup, seorang kritikus mungkin menjadikan kita orang yang turut mengambil bagian perasaannya yang luas tentang arti kesusastraan”
Kritik sastra ada bermacam-macam, dapat digolongkan menurut jenis bentuknya, pelaksanaannya, atau praktik kritik, dan menurut dasar pendekatan kritik sastra terhadap karya sastra.
Menurut bentuknya kritik sastra digolongkan menjadi kritik teori dan kritik praktik/terapan3. Kritik sastra teori adalah bidang kritik sastra yang berusaha untuk menetapkan, atas dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah-istilah yang tali-temali, perbedaan-perbedaan dan kategori-kategori untuk diterapkan pada pertimbangan dan interpretasi karya sastra, maupun penerapan “kriteria” (standar atau norma-norma) yang dengan hal-hal tersebut itu karya-karya sastra dan para sastrawannya bernilai.
Kritik paktik merupakan diskusi karya-karya sastra tertentu dan pengarang-pengarangnya. Kritik praktik berupa penerapan teori-teori kritik yang dapat dinyatakan secara eksplisit atau implisit berdasarkan keperluannya.
Menurut pelaksaan atau praktik kritik, kritik sastra oleh Abrams dibagi menjadi kritik yudisial dan kritik impresionistik4. Menurut W.H. Hudson yaitu kritik yudisial dan kritik induktif5.
Kritik yudisial adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, teknik, dan gayanya, dan mendasarkan pertimbangan-pertimbangan individual kritikus atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan atau keluarbiasaan sastra.
Kritik induktif adalah kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian sastra berdasarkan fenomena-fenomena yang ada secara objektif.
Kritik impresionistik adalah kritik yang berusaha menggambarkan dengan kata-kata atas sifat-sifat yang terasa dalam bagian-bagian khusus atau dalam sebuah karya sastra, dan mengekspresikan tanggapan-tanggapan (impresi) kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra tersebut6. Disebut juga kritik estetik.
Berdasarkan pendekatannya terhadap karya sastra, Abrams7 membagi kritik sastra ke dalam empat tipe :
1.      Kritik mimetik; memandang karya sastra sebagai tiruan, pencerminan, atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia dan kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran, atau yang hendaknya digambarkan. Modus kritik ini pertama kali kelihatan dalam kritik Plato dan Aristoteles, merupakan sifat khusus teori-teori modern realisme sastra. -> Kritik sosiologi-sastra
2.      Kritik pragmatik; memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai (mendapatkan) efek-efek tertentu pada audien/pendengar/pembaca, baik berupa efek kesenangan estetik ataupun ajaran/pendidikan, maupun efek-efek yang lain. Kritik ini cenderung menilai karya sastra menurut berhasilnya mencapai tujuan tersebut.
3.      Kritik ekspresif; memandang karya sastra terutama dalam hubungannya dengan penulis sendiri. Kritik ini mendefinisikan puisi/karya sastra sebagai produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaannya. Kritik ini cenderung untuk menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, atau kecocokan dengan visium (penglihatan batin) individual pengarang atau keadaan pikirannya. Sering kritik ini melihat ke dalam karya sastra untuk menerangkan tabiat khusus dan pengalaman-pengalaman pengarang, yang secara sadar atau tidak ia telah membukakan dirinya di dalam karyanya.
4.      Kritik objektif; mendekati karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari penyair, audiens, dan dunia yang mengelilinginya. Kritik ini menganalisis karya sastra seba-gai sebuah objek yang mencukupi dirinya sendiri atau hal yang utuh, atau sebuah dunia dalam dirinya (otonom), yang harus ditimbang atau dianalisis dengan kriteria “intrinsik” seperti kompleksitas, keseimbangan, integritas, dan saling hubungan antara unsur-unsur pembentuknya. -> Pendekatan struktural (intrinsik)
Secara ringkasnya sebagai berikut: Kritik sastra yang baik menganalisis karya sastra berdasarkan teori sastra, hakikat sastra, menganalisis karya sastra kepada seluruh normanya, tidak hanya menyoroti satu saja; mestilah objektif, tidak memihak; mestilah ada pertimbangan baik buruk karya sastra berdasarkan kenyataannya; dapat menunjukkan hal-hal yang baru pada karya sastra yang dikiritik (kalau memang ada). Penilaian haruslah menyeluruh memandang karya sastra sebagai kesatuan yang utuh menurut metode ilmu sastra.

Keterangan :
1 ; William Henry Hudson, An Introduction to the Study of Literature, George G. Harrap & Ltd, London, 1955, hal 260.
2 ; Hudson op. Cit. Hal. 266-267.
3 ; Abrams op. Cit. Hal. 35-36.
4 ; ibid. 35-37.
5 ; Hudson op. Cit. Hal. 270-1.
6 ; Abrams op. Cit. Hal. 35.
7 ; Abrams op. Cit. Hal. 36-37.

DAFTAR PUSTAKA
PRINSIP-PRINSIP KRITIK SASTRA Teori dan Penerapannya

Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo

Artikel KODIKOLOGI dan Komentarnya

KODIKOLOGI


Hakikat Kodikologi
Istilah kodikologi berasal dari kata Latin ‘codex’ (bentuk tunggal; bentuk jamak ‘codies’) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ‘naskah’–bukan menjadi ‘kodeks’. Sri Wulan Rujiati Mulyadi mengatakan kata ’caudex’ atau ‘codex’ dalam bahasa Latin menunjukkan hubungan pemanfaatan kayu sebagai alas tulis yang pada dasarnya kata itu berarti ‘teras batang pohon’. Kata ‘codex’ kemudian di berbagai bahasa dipakai untuk Kodikologi, atau biasa disebut ilmu pernaskahan bertujuan mengetahui segala aspek naskah yang diteliti. Aspek-aspek tersebut adalah aspek di luar isi kandungan naskah tentunya.
Kodikologi adalah satu bidang ilmu yang biasanya bekerja sama dengan bidang ilmu filologi. Jika filologi mengkhususkan pada pemahaman isi teks/kandungan teks, kodikologi khusus membahas seluk-beluk dan segala aspek sejarah naskah. Dari bahan naskah, tempat penulisan, perkiraan penulis naskah, jenis dan asal kertas, bentuk dan asal cap kertas, jenis tulisan, gambar/ilustrasi, hiasan/illuminasi, dan lain-lain. Nah, tugas kodikologi selanjutnya adalah mengetahui sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, meneliti tempat-tempat naskah sebenarnya, menyusun katalog, menyusun daftar katalog naskah, menyusuri perdagangan naskah, sampai pada penggunaan naskah-naskah itu.
Naskah adalah semua dokumen tertulis yang ditulis tangan, dibedakan dari dokumen cetakan atau perbanyakannya dengan cara lain. Kata ‘naskah’ diambil dari bahasa Arab nuskhatum yang berarti sebuah potongan kertas.
Teks adalah Data yang terdiri dari karakter-karakter yang menyatakan kata-kata atau lambang-lambang untuk berkomunikasi oleh manusia dalam bentuk tulisan. Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama.

Kodikologi dan Ilmu Pernaskahan
Kodikologi meliputi :
1)                  Sejarah naskah
2)                  Sejarah koleksi naskah
3)                  Penelitian mengenai tempat naskah yg sebenarnya.
4)                  Masalah penyusunan katalog.
5)                  Daftar katalog

Aspek Internal Naskah:

1)                  Bahan naskah
2)                  Umur naskah
3)                  Tempat penulisan
4)                  Penulisan naskah
5)                  Keadaan naskah
6)                  Pengguna naskah
7)                  Kronologis sejarah naskah
8)                  Sejarah naskah


Umur Naskah:
1)                  Codicesmanu scripti (buku-buku yg ditulis dengan tangan).
2)                  Manu – manus – tangan.
3)                  Scripti – scriptus – scribere – menulis.
4)                  Handshripten (Belanda) – handshrift (Jerman) – manusrit – naskah.
5)                  Umur naskah dapat dilacak melalui dua bukti: (i) interne evidentie;| (ii) externe evidentie.
6)                  Externe evidentie → katalogus: MS/ HS untuk naskah tunggal, MSS/ HSS untuk naskah jamak.

Berdasarkan Kolofon:
1)                  Berdasarkan Kolofon
2)                  Berdasarkan Bentuk/ macam tulisan naskah
3)                  Berdasarkan Bahasa naskah
4)                  Berdasarkan Isi (peristiwa) yg termaksud dalam naskah
5)                  Berdasarkan Bahan naskah
6)                  Berdasarkan Water mark
7)                  Berdasarkan Catatan dalam naskah
8)                  Berdasarkan Katalog

Asal Mula Kepemilikan Naskah:
Informasi mengenai asal mula naskah menjadi milik perpustakaan atau museum dapat memberikan penanggalan tentatif. Informasi seperti ini termuat dalam katalog, yaitu kapan naskah itu diterima atau sejak kapan naskah itu menjadi milik perpustakaan atau museum, berasal dari siapa naskah itu, mengapa atau dengan cara bagaimana perpustakaan atau museum itu memiliki naskah tersebut.

Katalog/ katalogus:


1)                  Tahun
2)                  Judul
3)                  Point naskah
4)                  Ketebalan
5)                  Pengarang
6)                  Penerbit


Iluminasi dan Ilustrasi dalam Kodikologi
Dalam artikelnya yang berjudul ”Iluminasi Naskhah-naskhah Minangkabau”, Zuriati menjelaskan bahwa pada awalnya istilah iluminasi digunakan dalam penyepuhan emas pada beberapa halaman naskah untuk memperoleh keindahan dan biasanya ditempatkan sebagai hiasan atau gambar muka (frontispiece) naskah. Dalam perkembangannya, istilah iluminasi ini dapat dipakai dalam pengertian yang luas untuk menunjukkan perlengkapan dekoratif apa saja yang, biasanya, berhubungan dengan warna-warna atau pigmen metalik dan didesain untuk mempertinggi nilai penampilan naskah, meliputi, antara lain bingkai teks yang dihias, penanda ayat, penanda juz, dan tanda kepala surat pada Alquran. Jadi, pada dasarnya, iluminasi adalah hiasan-hiasan yang terdapat pada naskah yang, terutama, berfungsi untuk memperindah penampilan naskah. Di samping iluminasi, istilah ilustrasi muncul kemudian untuk merujuk hiasan yang selain berfungsi untuk memperindah naskah, juga mendukung atau menjelaskan teks. Dalam studi naskah-naskah Eropa, kedua istilah tersebut sering dipakai secara bergantian. Akan tetapi, kedua istilah itu selalu digunakan secara berbeda dalam studi naskah-naskah Islam. Meskipun demikian, beberapa penelitian membuktikan bahwa iluminasi dan ilustrasi tidak selalu dapat dibedakan karena perbedaan fungsinya tersebut (2010: 1-2).
Secara lebih sederhana, Mulyadi (1994: 69) menjelaskan bahwa ragam hias yang terdapat pada sebuah naskah dapat dibedakan menjadi: iluminasi, yakni hiasan bingkai yang biasanya terdapat pada halaman awal dan mungkin juga pada halaman akhir; dan ilustrasi, yaitu hiasan yang mendukung teks.

Iluminasi
Naskah-naskah tua Nusantara tersebar di seluruh wilayah Indonesia, sebagian besar ditulis dalam bahasa daerah yaitu: Melayu, Sunda, Jawa, Bali, Batak, Lampung, Bugis, Makasar, Madura dll. Sedangkan huruf/aksara yang dipakai adalah aksara daerah yaitu huruf Batak, Lampung, Rencong, Bugis, Makasar, Jawa Kuno, Sunda Kuno, Bali, Arab Jawa/Jawi dan Arab Pegon/Melayu. Sebagian lainnya dalam huruf Palawa. Perlu diingat bahwa naskah-naskah Nusantara itu sebagian besar tidak bergambar (ilustrasi), hanya sebagian kecil saja yang memuat ilustrasi dan iluminasi. Dari sebagian naskah yang bergambar itulah terlihat bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah memiliki tradisi visualisasi yang unik dan memesona (Damayanti dan Suadi, 2009).
Sebagai salah satu wilayah kajian kodikologi, pembahasan mengenai iluminasi pada naskah-naskah Nusantara baru muncul pada pertengahan abad ke-20 ketika Coster-Wijsman (1952) menjelaskan sedikit tentang ilustrasi pada naskah Jawa, dalam cerita Pandji Djajakusuma. Hingga kini, sejumlah tulisan hasil penelitian terhadap naskah-naskah beriluminasi, terutama naskah Jawa dan Melayu telah diterbitkan. Hal-hal penting yang patut dicatat adalah bahwa iluminasi tidak hanya berfungsi sebagai hiasan, tetapi juga menunjukkan ciri-ciri kedaerahan tempat naskah-naskah itu berasal dan merupakan tanda-tanda yang bermakna (Zuriati, 2010: 2).
Berdasarkan penelitian, iluminasi dalam naskah lebih banyak ditemukan pada surat-surat para raja masa lalu dalam korespondensi dengan pihak kolonial Belanda, yang kemudian dikenal dengan istilah Golden Letters. Walau tentunya ditemukan juga dalam beberapa naskah lain, misalnya hikayat, namun dalam jumlah yang tidak banyak (Mulyadi , 1994: 71-72). Dalam pembuatannya, iluminasi banyak menggunakan warna-warna mencolok, antara lain kuning, hijau, biru, merah, oranye, coklat, ungu dan campuran warna.
Hiasan berbentuk bingkai berhias ini, umumnya terdapat pada beberapa halaman di awal naskah dan di beberapa halaman pada akhir naskah. Jarang sekali, hiasan bingkai berhias tersebut ditemukan atau terletak di halaman-halaman pertengahan naskah. Pada satu sisi hal itu memperjelas, bahwa iluminasi atau hiasan bingkai tersebut berguna untuk memikat atau menimbulkan daya tarik pembacanya. Sekaligus, hiasan bingkai berhias tersebut menambah nilai (seni) naskah tersebut. Setidaknya, pembaca akan mengawali bacaannya dengan rasa senang, dengan daya tarik dan nilai (seni) yang baik, dan akan mengakhiri pula bacaannya dengan tetap mempertahankan rasa senang itu. 
Di sisi lain, posisi yang biasa ditempati oleh hiasan bingkai tersebut menunjukkan pula, bahwa menghiasi atau membingkai teks itu bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah, melainkan suatu pekerjaan yang juga memerlukan suatu keterampilan, khususnya keterampilan menggambar. Hiasan atau gambar yang sangat sederhana sekalipun dikerjakan dengan penuh perhitungan dan kehati-hatian, sehingga tampilan bingkai tersebut menjadi indah dan menarik serta tampak proporsional. Hiasan bingkai yang dikerjakan secara sederhana atau dengan teknik yang tinggi, tentu saja, akan membedakan kualitas gambar atau kualitas iluminasinya (Zuriati, 2010: 7-8).

Ilustrasi
Berdasarkan definisinya, ilustrasi merupakan unsur pendukung teks. Damayanti dan Suadi (2009) menjabarkan nilai, latar belakang dan fungsi ilustrasi, sebagai berikut:
a.                  Ilustrasi pada naskah memiliki metoda tertentu yang mengandung sejumlah nilai, norma, aturan dan falsafah hidup sebagai manifestasi dari perwujudan daya cipta masyarakat.
b.                  Wujud visualnya merupakan representasi dari nilai-nilai dan aturan-aturan tertentu yang terkait dengan proses penciptaan suatu produk seni rupa tradisi.
c.                   Ilustrasi pada naskah mempunyai fungsi sosial sebagai media komunikasi yang terkait dengan sistem nilai, pranata sosial dan budaya pada masanya bahkan masih dijadikan pedoman masyakat Nusantara hingga sekarang.
d.                  Faktor-faktor enkulturasi, akulturasi, sinkretisme, asimilasi yang disebabkan oleh persilangan budaya asing turut memberikan ciri-ciri khusus terhadap wujud visual gambar Ilustrasi pada naskah nusantara, baik dilihat dari persamaannya maupun perbedaannya. Mengingat posisi  strategis negara Indonesia yang terletak diantara dua benua dan menjadi tempat persinggahan antar bangsa yang menyebabkan terjadinya proses silang budaya dan globalisasi sejak berabad-abad. Naskah Nusantara adalah gambaran transformasi dalam budaya baca tulis dan seni rupa.
e.                   Ilustrasi pada naskah nusantara memuat nilai-nilai spiritualitas yang mencerminkan masyarakatnya adalah masyarakat beragama yang memiliki keyakinan tentang ketuhanan.
f.                   Dalam perkembangannya, gaya ilustrasi dalam naskah di nusantara mengalami banyak penyesuaian dengan kondisi yang ada saat itu. Gaya ini terus berevolusi sejak masa Hindu, Islam hingga masa kolonial Belanda.
g.                  Keberadaan iluminasi dan ilustrasi pada naskah nusantara membuktikan adanya cita rasa seni yang tinggi yang dimiliki oleh nenek moyang bangsa ini. Aneka fungsi dan nilai sosial dari setiap iluminasi dan ilustrasi yang terlihat dalam naskah-naskah tersebut menunjukkan kualitas peradaban yang pernah dimiliki oleh nusantara.


DAFTAR PUSTAKA

Baried, Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada
(diakses pada 16 September 2012)
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. 1991. Kodikologi Melayu di Indonesia. Depok:
Fakultas Sastra Universitas  Indonesia.
(diakses pada 7 Maret 2014)

Rangkuman Artikel Kodikologi
Istilah kodikologi berasal dari kata Latin ‘codex’ (bentuk tunggal; bentuk jamak ‘codies’) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ‘naskah’–bukan menjadi ‘kodeks’. Selanjutnya istilah ini semakin populer dipakai untuk kodikologi, bertujuan mengetahui segala aspek naskah yang diteliti. Aspek-aspek tersebut adalah aspek di luar isi kandungan naskah tentunya.
Kodikologi adalah satu bidang ilmu yang bekerja sama dengan filologi. Lalu kodikologi bertujuan mengetahui sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, meneliti tempat-tempat naskah sebenarnya, menyusun katalog, menyusun daftar katalog naskah, menyusuri perdagangan naskah, sampai pada penggunaan naskah-naskah itu.

Kodikologi dan Ilmu Pernaskahan
Kodikologi meliputi :
-Sejarah naskah
-Sejarah koleksi naskah
-Penelitian mengenai tempat naskah yg sebenarnya.
-Masalah penyusunan katalog.
-Daftar katalog

Asal Mula Kepemilikan Naskah
Informasi mengenai asal mula naskah menjadi milik perpustakaan atau museum dapat memberikan penanggalan tentatif. Informasi seperti ini termuat dalam katalog, yaitu kapan naskah itu diterima atau sejak kapan naskah itu menjadi milik perpustakaan atau museum, berasal dari siapa naskah itu, mengapa atau dengan cara bagaimana perpustakaan atau museum itu memiliki naskah tersebut.

Iluminasi dan Ilustrasi dalam Kodikologi
Pada awalnya istilah iluminasi digunakan ketika penyepuhan emas pada halaman-halaman untuk diperolehnya keindahan sebagai hiasan naskah. Selanjutnya istilah iluminasi ini diperluas pengertiaannya yaitu perlengkapan dekoratif untuk mempertinggi nilai penampilan naskah. Jadi intinya, iluminasi adalah hiasan-hiasan yang terdapat pada naskah, lalu istilah ilustrasi muncul untuk hiasan yang berfungsi lebih dari iluminasi. Yaitu untuk mendukung dan memperjelas teks.

Iluminasi
            Sebagai salah satu wilayah kajian kodikologi, pembahasan iluminasi pada naskah Nusantara baru muncul pada pertengahan abad ke-20 ketika Coster Wijsman (1952) menjelaskan sedikit tenang ilustrasi pada naskah Jawa. Hal yang perlu dicatat di sini adalah iluminasi bukan hanya berfungsi sebagai hiasan, tetapi juga menunjukkan ciri-ciri daerah asal naskah tersebut. Hiasan berbentuk bingkai ini, kebanyakan terdapat di halaman awal dan akhir naskah. Hiasan bingkai ini jarang ditemukan pada tengah halaman naskah. Lalu hiasan bingkai juga menambah nilai seni. Jika ada pembaca yang melihatnya, diharapkan dengan adanya hiasan bernilai seni ini, bisa membuat pembaca merasa senang, dan daya tarik untuk membaca konten naskah sampai akhir juga dengan rasa senang. Di sisi lain. Perlu diketahui bahwa untuk membuat iluminasi ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Jelas harus memiliki suatu keterampilan, khususnya menggambar. Hiasan bingkai yang dikerjakan secara sederhana atau dengan teknik tinggi, tentu akan membedakan kualitas seninya.

Ilustrasi
            Berdasarkan definisinya, ilustrasi merupakan unsur penjelas teks. Damayanti dan Suadi (2009) menjabarkan nilai latar belakang dan fungsi ilustrasi sebagai berikut :
-Ilustrasi pada naskah biasanya mengandung nilai, norma, dan falsafah hidup dari perwujudan dengan daya cipta masyarakat.
-Dikarenakan posisi strategis Nusantara, yaitu jalur persinggahan dan perdagangan dunia, maka terjadilah proses silang budaya sejak berabad-abad yang mempengaruhi budaya bangsa ini.
-Keberadaan iluminasi dan ilustrasi pada naskah menujukkan bahwa adanya cita rasa seni yang tinggi telah dimiliki nenek moyang kita. Aneka fungsi dan nilai sosial dari setiap iluminasi dan ilustrasi yang ada pada naskah membuktikan kualitas peradaban yang dimiliki oleh Nusantara.

Komentar Mengenai Artikel Kodikologi Di Atas
1.      Mengenai pengertian mendasar tentang kodikologi memang sudah cukup bisa dimengerti. Tetapi ada beberapa kata-kata yang belum ada penjelasan dan penjabarannya. Seperti aspek internal naskah, yaitu Bahan naskah, umur naskah, tempat penulisan, penulisan naskah dan lain-lain. Lalu pengertian tentang Codicesmanu scripti (buku-buku yg ditulis dengan tangan), Manu – manus – tangan, Scripti – scriptus – scribere – menulis, Handshripten (Belanda) – handshrift (Jerman) – manusrit – naskah, Umur naskah dapat dilacak melalui dua bukti: (i) interne evidentie;| (ii) externe evidentie, Externe evidentie → katalogus: MS/ HS untuk naskah tunggal, MSS/ HSS untuk naskah jamak. Seharusnya ditambahi penjelasan agar pembaca artikel tidak kebingungan dengan istilah-istilah tersebut.
2.      Selain pengertian dan penjabaran mengenai istilah-istilah di atas, artikel ini juga belum memberikan contoh konkret naskah berupa gambar. Agar bisa mendukung tulisan artikel itu. Seperti gambar iluminasi dan ilustrasi pada naskah-naskah Jawa, Sunda, Melayu. Lalu gambar naskah pada zaman Hindu Budha dan Islam. Agar pembaca naskah benar-benar mengetahui perbedaan gambar atau hiasan seperti yang ditulis oleh penulis artikel ini.
3.      Mengenai penjabaran tentang iluminasi dan ilustrasi sudah lumayan lengkap. Dengan beberapa penjelasan yang lebih dari satu, membuat artikel ini lumayan untuk menjadi referensi. Meskipun jika saja ada tambahan lagi. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh generasi selanjutnya untuk melanjutkan penelitian tentang ilustrasi dan iluminasi pada naskah. Kalau ada sudut pandang lain yang belum sempat ditulis oleh penulis naskah ini.
4.      Seperti yang terlihat pada daftar pustaka, sepertinya referensinya hanya beberapa buku dan satu dari website. Untuk membuat artikel yang bagus biasanya membutuhkan banyak sekali referensi. Saya pribadi merasa sumber infonya kurang. Bukan untuk memperbanyak daftar pustaka, tetapi realitasnya adalah semakin banyak membaca referensi, maka artikel pun bisa semakin menarik dan semakin lengkap.

5.      Di dalam penulisan artikel, penggunaan EYD memang harus diperhatikan. Misalkan saja penulisan kata-kata asing non-Indonesia. seharusnya ditulis miring atau dalam tanda kutip. Ada banyak sekali istilah asing yang belum sesuai dengan EYD. Sebuah artikel juga wajib memperhatikan unsur ejaan. Agar menjadi sebuah karya ilmiah yang benar dan bagus tentunya.