Thursday 29 May 2014

Pertemuan Terakhir

Pertemuan Terakhir

Kamis, 15 Mei 2014
Kami bertemu di sebuah pesta yang sangat meriah dan juga mengharukan. Kulihat ada yang berwajah ceria, ia begitu penuh canda tawa dan sangat bersemangat. Ada pula yang tampak kelelahan karena kebanyakan makan daging ayam yang tersaji istimewa. Lalu, ada yang malah melakukan ritual melamar. Melihat hal itu, semuanya terhenyak. Ia adalah seorang pangeran berparas seperti Peter Parker dari kelas kami yang sangat populer. Ia baru saja mengatakan cintanya kepada seorang putri kerajaan mirip Gita Gutawa yang tinggal dekat rumahku. Hari itu benar-benar penuh warna.

Dan satu hal yang kulihat saat itu. Dari kejauhan kau tampak seperti biasa. Kucoba untuk mendekatimu. Warna gaunmu yang menggetarkan jiwa. Pupilmu yang bersinar-sinar dan kilauan rambut panjangmu yang terurai. Kucium bau parfummu yang sangat menggoda. Kali ini, aku takkan ragu lagi. Kucoba bicara denganmu. Mungkin inilah kesempatan terakhir kita semua bisa berkumpul seperti ini.

“Laili, gimana kabarmu ?”
“Kabarku baik Ka. Arka sendiri gimana ?”
“Baik juga sih. Hmm, meriah juga ya, pesta ini. Daripada kamu duduk termenung sendirian di sini, yuk kita berfoto bareng teman-teman yang lain!”

Bulan semakin bersinar terang. Cuaca dingin yang kian berdatangan bersamaan dengan angin malam yang berhembus. Malam itu, kami semua telah mengabadikan momen yang indah. Foto bersama untuk dikenang suatu saat nanti. Setelah itu, semuanya pun mulai berpamitan. Di saat Laili beranjak pulang, kucoba untuk mengejarnya. Gaun panjangnya seakan terbawa hembusan angin dan kami berdua tepat berdiri di bawah sinar purnama.

“Arka, katakan padaku bahwa kau akan menjemputku ketika bulan purnama telah berwarna merah. Kutunggu di depan taman abadi” Katanya sambil mulai berlari. Terlihatlah tetesan air dari pipinya. Ia mulai menjauh. Aku merasakan bahwa inilah kali pertama kulihat dia tampak bersedih.

***
Jumat, 30 Mei 2014
Malam ini, hanya suara gemerisik dedaunan yang terdengar. Kulihat langit juga menutup diri. Entah apa yang ia rahasiakan di malam ini. Lima belas hari setelah momen itu, aku mendapat beberapa kabar baru. Raika, Hestia, Alfi, dan Nila diterima di Universitas. Malna, Silva, dan Jaya sama-sama melanjutkan karir di perusahaan dekat pusat kota. Ada juga yang pindah ke kota lain karena tuntutan karier orang tuanya. Sebagian kuketahui kabar mereka lewat kicauannya di media sosial. Adapun yang sekadar lewat pesan singkat. Terkecuali Laili. Entah di mana dan sedang apa dia sekarang.

Hatiku kian bimbang. Ia katakan padaku untuk segera bertemu dia lagi. Tetapi dari hatiku yang paling dalam katakan bahwa aku tidak boleh mengingkari janjinya, sebelum bulan benar-benar berwarna merah. Ketika dua pendapatku makin berkecamuk satu sama lain, kucoba untuk duduk. Sambil kuraih sebatang Kit Kat dan segelas Milo, kucoba untuk memutuskannya segera. “Mungkin tidak ada salahnya jika aku datang ke rumahnya dan menanyakan kabarnya. Jika ia tidak ada, maka keluarganya pasti tahu” Demikian akhirnya kuputuskan untuk memberanikan diri untuk malam ini ke rumahnya.

Udara malam yang terasa menusuk tulang tak menghambatku kali ini. Dengan menaiki Polygon, aku menelusuri jalanan yang serasa kelam. Sekitar dua puluh menit kemudian, akhirnya kulihat gerbang istananya yang berwarna biru langit. Kuberanikan diri untuk memasukinya. Di sana kulihat rumahnya sepi meski lampunya masih bersinar terang. Perlahan kuketok pintu rumahnya. Lalu seorang dengan tinggi badan yang menjulang dan rambut kepala yang kian memutih membukakan pintu, sambil memegang sebuah pipa berisi Djarum Super. Dari raut mukanya, bisa kutebak ia pasti segera mengusirku. Dan benar saja. Hanya sekitar lima menit berdiri di depan pintu, aku segera pamitan. Ia katakan padaku bahwa Laili sedang tidak ada di rumah.

Sebenarnya ia tidak mengusirku, tetapi aku yang memilih untuk pamitan karena apa jadinya jika aku benar-benar masuk ke rumahnya. Mungkin jika ia tahu aku datang malam ini, meski ia tidak ada di rumah saat ini, ia akan membenciku selamanya. Dengan ayunan pedal yang lambat, kepulanganku hanya ditemani oleh bayanganku sendiri di bawah sinar lampu jalanan.

***
Minggu, 10 Agustus 2014
Kali ini, aku akan coba untuk cari informasi secara diam-diam. Tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya. Kupikir hampir tiga bulan sejak hari terakhir bertemu, hatiku kian rapuh. Makin membeku meski tidak dalam freezer. Kian perih meski tidak ada darah yang keluar. Makin lenyap jika kubiarkan terus menerus. Sore ini aku akan berkunjung ke rumahnya Chika, sahabat karibnya Laili. Rumahnya yang berada di pucuk gunung tak menghalangiku kali ini. Kupacu Honda merahku yang berpelat W 6917 AA dengan kecepatan santai.

Hampir satu jam perjalanan, aku pun mulai merasakan hawa khas pegunungan. Udara yang bersih nan mengandung oksigen tinggi. Hutan pinus yang berjejeran juga menyambutku. Ada pula gemericik air yang jatuh dari tebing juga mempersilahkan aku untuk lewat. Kulihat ada kumpulan titik-titik air yang mengembun di sekitarku, lalu menempel di helmku. Lalu, tepat di depan hidungku, kucium aroma rumahnya Chika yang makin dekat. Kulihat pula ia sedang asyik bercerita dengan bunga mawar di tamannya. Dengan langkah pasti, aku mulai berjalan mendekatinya.

“Selamat sore Chika. Gimana kabarmu sekarang ?”
“Sore Arka, hmm, seperti biasalah. Habis pulang dari rumah nenek, lalu aku sempatkan untuk menyiram bungaku yang lama kutinggalkan, hehe”
“Begitu ya. Bunga yang ditinggalkan ...”
“Ka, Arka ...”

Aku malah masuk ke dunia halusinasi ketika menghayati kata-kata itu. Lalu aku pun mulai menanyakan kabarnya Laili. Entah apakah Chika sedang terkena sihir, ia tampak bengong. Kucoba untuk menggerak-gerakkan tanganku di depan mukanya. Juga kubunyikan jari-jemariku. Tak lama kemudian, raut mukanya mulai berkata padaku. Matanya gemetar, kelopak matanya juga menunduk, air matanya juga mulai mengalir. Ia pun bercerita panjang lebar padaku. “Semenjak hari itu, momen terakhir itu, detik-detik yang takkan terlupakan itu, ia entah ke mana dan tak memberi kabar apa pun Ka” Isak tangis Chika pun tak terbendung.

Mungkin yang Chika alami memang sama sepertiku. Aku pun mulai menghibur Chika dengan mengatakan kata-kata terakhirnya padaku dulu. Sewaktu ia berpamitan pulang. Aku juga berharap semoga kita semua masih diberi kesempatan untuk bertemu lagi. Langit pun mulai mengubah warnanya dari kemerahan ke warna yang kian suram. Lalu aku pun berpamitan.

***
Senin, 11 Agustus 2014
Hari ini, aku coba cara lain. Mungkin ini adalah strategi yang penuh dengan resiko. Tapi kupikir lebih baik daripada harus bertanya kepada orang tuanya. Kucoba untuk pergi ke sebuah kantor yang berada di pusat kota. Kuharap ada informasi yang bisa aku dapatkan. Dengan ditemani Hondaku lagi, aku merasakan sedang memainkan lempar koin. Jika beruntung, aku dapatkan info. Jika sial, maka hancurlah sudah. Mentari yang tepat berada di atas kepala, panasnya sungguh terasa. Aku pun sampai di rumah dinasnya walikota.

Aku mulai berjalan dengan tenang memasuki ruangan kantor. Hawa dingin dari Ac mulai merasuki tubuhku. Sayup-sayup terdengar bunyi printer dan detak suara orang sedang mengetik. Ada pula yang berjalan ke sana kemari sambil memegangi telepon genggam. Hanya satu tempat yang sedang aku tuju. Yaitu ruangan sekretaris walikota. Di sanalah kakak laki-laki Laili sedang bekerja. Ketika akan kuketok pintunya, tiba-tiba hal yang takterduga pun muncul dihadapanku.

PRAKKK, CRAAANGGG, BRUUKKK... Seperti kiamat di dalam ruangan sekretaris. Betapa tidak. Kulihat pecahan gelas, meja yang terguling, dan kertas juga peralatan kantor yang berserakan. Ada dua orang yang terdiam di kursi mereka. Kakiku seperti terpaku. Tak bisa bergerak lagi. Kudengar kata-kata kasar dan penuh makian keluar dari mulut kakaknya Laili kepada dua orang itu. Sampai-sampai beberapa rekan kantornya mulai berdatangan. Tetapi ia malah melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah yang cepat. Terlihat dari tatapan matanya betapa ia masih marah dengan kedua orang tadi. Alhasil aku pun mulai mengurungkan niatku untuk bertanya padanya saat itu.

Aku pun pulang tanpa hasil. Malam ini, langit terasa berbeda. Entah kenapa, tiap malam hari, bulan terasa kian dekat dan besar. Ataukah sebatas menuju purnama seperti biasa. Entahlah.

***
Jumat, 15 Agustus 2014
“Arka, ayo ke sini, berlarilah kemari”
“Laili, benarkah itu kau ?”
“Ia Ka. Sini cepat, aku punya sesuatu untukmu. Dengarkan puisi yang baru aku buat ini ya”
                        Dengarkan bunyi hati yang tersirat
                        Lihatlah indahnya lukisan jiwa
                        Maknailah suasana nada irama kalbu yang penuh amanat
                        Kau yang datang malam ini
                        Yang tak ingkari janji suci
                        Janji yang buktikan kesetiaanmu
                        Setiamu padaku
                        Ku sangat cintaimu ...
Tiba-tiba aku terbangunkan mendengar baris terakhir puisi itu. Entah apakah hanya mimpi atau memang benar Laili yang mendatangiku. Aku pun langsung berjalan menuju lorong belakang rumah. Membasuh muka sambil mengingat puisi yang ia ucapkan tadi. “Betapa indahnya puisimu itu, kuharap kita bisa berjumpa lagi” Kataku di depan cermin kamar mandi. Aku pun tak sabar ingin segera melihat malam.

Jarum jam bergerak sampai tak merasakan lelah. Ia katakan padaku bahwa sekarang sudah pukul 19.30. Kucoba ‘tuk melirik angkasa. Pemandangan yang jarang aku lihat. Ratusankah, tidak, kupikir bermilyar-milyar bintang sedang mengadakan pesta. Mereka berkelap-kelip. Ada yang terang, ada yang redup. Ada pula yang bergerak. Kupikir itu adalah bintang jatuh. Dan ini mengingatkan aku pada pesta di malam itu. Lalu sinar merah juga hiasi ramainya langit. Bulan malam ini bersinar merah dan sangat besar. Kurasa inilah saatnya untukku menemuinya.

Aku mulai berjalan sendirian dalam kelamnya malam. Anehnya, tiada sesosok raga pun yang terlihat malam ini. Angin yang berhembus membuat dedaunan berguguran. Hanya terdengar suara jejak kakiku yang sedang menapaki jalan. Lalu ada sesosok makhluk berwarna hitam yang hinggap di salah satu dahan pohon. Suaranya terdengar menyeramkan. Kucoba untuk mengamatinya lebih dekat. “Ternyata hanya burung gagak. Sebaiknya aku segera pergi dari sini”  Gumamku seraya mulai menggerakkan kaki dengan cepat.

Sambil mengusap keringat karena kelelahan, kulihat gerbang taman yang bertuliskan “Taman Abadi”. Ketika akan melangkah ke sana, tiba-tiba kulihat banyak orang yang memenuhi makam yang ada tepat di seberang jalan depan taman abadi. Kucoba untuk melangkahkan kaki dan hatiku menuju ke sana. Sejenak aku menghela napas dulu. Aku kucek-kucekkan kedua mataku. “Apakah ini nyata ? Itu adalah keluarganya Laili. Apa mungkin Laili, apa yang terjadi sebenarnya, apa yang ia katakan dulu ?” Beberapa pertanyaan tak percaya keluar spontan dari mulutku. Aku akhirnya memberanikan diri menuju ke gundukan tanah yang baru saja ditaburi oleh bunga-bunga.
            Laili Puspita bin Marto Sukadi
            Lahir 13 Juni 1995
            Meninggal 15 Agustus 2014
Seakan tak percaya meski langit runtuh, ternyata memang tulisan yang terukir di batu nisan itu tidak salah. Aku juga tak tahu kenapa, tiba-tiba air mataku keluar dengan derasnya. Tapi kucoba untuk segera hentikannya. Kakiku menjadi lemah, aku pun tertunduk. Lalu aku mulai berdoa tepat di dekat rumah terakhirnya. Setelah proses penguburan selesai, aku coba tanyakan semuanya kepada keluarganya. Ternyata, menurut pengakuan ayah dan ibunya, ia baru boleh mengatakan semuanya setelah penguburannya selesai.

Ayah ibunya mengatakan bahwa sebenarnya Laili telah divonis meninggal sejak 6 bulan yang lalu karena menderita penyakit kanker. Kanker yang telah menjadi musuh mematikan kaum Hawa. Benar. Adalah kanker payudara yang telah merenggut nyawa anak kedua keluarga itu. Begitu pula membawa pergi satu-satunya perempuan selain ibuku yang aku sayangi. Entah apa yang ia katakan sewaktu pertemuan terakhir kami berdua tepat empat bulan yang lalu. Dan sekarang aku baru sadar, bahwa ia pasti melakukan ini semata-mata karena tidak ingin melihatku bersedih. Ibunya juga berkata bahwa mereka merahasiakan ini kepada semua teman-temannya. Apalagi jika temannya mengetahui ia sedang sakit, hanya akan membuat temannya ikut bersedih.

Aku pun paham akan perasaannya. Perasaan seorang perempuan yang tidak ingin membuat orang lain merasakan kepedihannya. Lalu aku teringat akan puisinya tadi pagi. Kucoba buat puisi spontan untuk membalas puisimu itu.
                        Apa kau melihat derasnya lautan kesedihan ini ?
                        Apa kau mendengar kerasnya bunyi kemuraman ini ?
                        Apa kau merasakan perih sakitnya sukma yang tersayat ini ?
                        Apa kau mencium aroma jiwa yang pilu ini ?
                                    Kau yang sekarang tertidur
                                    Tidurmu yang begitu lama
                                    Apakah kau tak ingin bangun ?
                                    Tak ingin ketahui isi hati ini ?
                                    Hati nurani yang begitu suci
                                    Sesuci cintaku padamu


***

0 comments:

Post a Comment