Pertemuan
Terakhir
Kami
bertemu di sebuah pesta yang sangat meriah dan juga mengharukan. Kulihat ada
yang berwajah ceria, ia begitu penuh canda tawa dan sangat bersemangat. Ada
pula yang tampak kelelahan karena kebanyakan makan daging ayam yang tersaji
istimewa. Lalu, ada yang malah melakukan ritual melamar. Melihat hal itu,
semuanya terhenyak. Ia adalah seorang pangeran berparas seperti Peter Parker
dari kelas kami yang sangat populer. Ia baru saja mengatakan cintanya kepada
seorang putri kerajaan mirip Gita Gutawa yang tinggal dekat rumahku. Hari itu
benar-benar penuh warna.
Dan
satu hal yang kulihat saat itu. Dari kejauhan kau tampak seperti biasa. Kucoba
untuk mendekatimu. Warna gaunmu yang menggetarkan jiwa. Pupilmu yang
bersinar-sinar dan kilauan rambut panjangmu yang terurai. Kucium bau parfummu
yang sangat menggoda. Kali ini, aku takkan ragu lagi. Kucoba bicara denganmu.
Mungkin inilah kesempatan terakhir kita semua bisa berkumpul seperti ini.
“Laili,
gimana kabarmu ?”
“Kabarku
baik Ka. Arka sendiri gimana ?”
“Baik
juga sih. Hmm, meriah juga ya, pesta ini. Daripada kamu duduk termenung
sendirian di sini, yuk kita berfoto bareng teman-teman yang lain!”
Bulan
semakin bersinar terang. Cuaca dingin yang kian berdatangan bersamaan dengan
angin malam yang berhembus. Malam itu, kami semua telah mengabadikan momen yang
indah. Foto bersama untuk dikenang suatu saat nanti. Setelah itu, semuanya pun
mulai berpamitan. Di saat Laili beranjak pulang, kucoba untuk mengejarnya. Gaun
panjangnya seakan terbawa hembusan angin dan kami berdua tepat berdiri di bawah
sinar purnama.
“Arka,
katakan padaku bahwa kau akan menjemputku ketika bulan purnama telah berwarna
merah. Kutunggu di depan taman abadi” Katanya sambil mulai berlari. Terlihatlah
tetesan air dari pipinya. Ia mulai menjauh. Aku merasakan bahwa inilah kali
pertama kulihat dia tampak bersedih.
***
Jumat,
30 Mei 2014
Malam
ini, hanya suara gemerisik dedaunan yang terdengar. Kulihat langit juga menutup
diri. Entah apa yang ia rahasiakan di malam ini. Lima belas hari setelah momen
itu, aku mendapat beberapa kabar baru. Raika, Hestia, Alfi, dan Nila diterima
di Universitas. Malna, Silva, dan Jaya sama-sama melanjutkan karir di
perusahaan dekat pusat kota. Ada juga yang pindah ke kota lain karena tuntutan
karier orang tuanya. Sebagian kuketahui kabar mereka lewat kicauannya di media
sosial. Adapun yang sekadar lewat pesan singkat. Terkecuali Laili. Entah di
mana dan sedang apa dia sekarang.
Hatiku
kian bimbang. Ia katakan padaku untuk segera bertemu dia lagi. Tetapi dari
hatiku yang paling dalam katakan bahwa aku tidak boleh mengingkari janjinya,
sebelum bulan benar-benar berwarna merah. Ketika dua pendapatku makin
berkecamuk satu sama lain, kucoba untuk duduk. Sambil kuraih sebatang Kit Kat dan segelas Milo, kucoba untuk memutuskannya segera. “Mungkin tidak ada
salahnya jika aku datang ke rumahnya dan menanyakan kabarnya. Jika ia tidak
ada, maka keluarganya pasti tahu” Demikian akhirnya kuputuskan untuk
memberanikan diri untuk malam ini ke rumahnya.
Udara
malam yang terasa menusuk tulang tak menghambatku kali ini. Dengan menaiki Polygon, aku menelusuri jalanan yang serasa
kelam. Sekitar dua puluh menit kemudian, akhirnya kulihat gerbang istananya
yang berwarna biru langit. Kuberanikan diri untuk memasukinya. Di sana kulihat
rumahnya sepi meski lampunya masih bersinar terang. Perlahan kuketok pintu
rumahnya. Lalu seorang dengan tinggi badan yang menjulang dan rambut kepala
yang kian memutih membukakan pintu, sambil memegang sebuah pipa berisi Djarum
Super. Dari raut mukanya, bisa kutebak ia pasti segera mengusirku. Dan benar
saja. Hanya sekitar lima menit berdiri di depan pintu, aku segera pamitan. Ia
katakan padaku bahwa Laili sedang tidak ada di rumah.
Sebenarnya
ia tidak mengusirku, tetapi aku yang memilih untuk pamitan karena apa jadinya
jika aku benar-benar masuk ke rumahnya. Mungkin jika ia tahu aku datang malam
ini, meski ia tidak ada di rumah saat ini, ia akan membenciku selamanya. Dengan
ayunan pedal yang lambat, kepulanganku hanya ditemani oleh bayanganku sendiri
di bawah sinar lampu jalanan.
***
Minggu,
10 Agustus 2014
Kali
ini, aku akan coba untuk cari informasi secara diam-diam. Tanpa sepengetahuan
ayah dan ibunya. Kupikir hampir tiga bulan sejak hari terakhir bertemu, hatiku
kian rapuh. Makin membeku meski tidak dalam freezer.
Kian perih meski tidak ada darah yang keluar. Makin lenyap jika kubiarkan
terus menerus. Sore ini aku akan berkunjung ke rumahnya Chika, sahabat karibnya
Laili. Rumahnya yang berada di pucuk gunung tak menghalangiku kali ini. Kupacu
Honda merahku yang berpelat W 6917 AA dengan kecepatan santai.
Hampir
satu jam perjalanan, aku pun mulai merasakan hawa khas pegunungan. Udara yang
bersih nan mengandung oksigen tinggi. Hutan pinus yang berjejeran juga
menyambutku. Ada pula gemericik air yang jatuh dari tebing juga mempersilahkan
aku untuk lewat. Kulihat ada kumpulan titik-titik air yang mengembun di
sekitarku, lalu menempel di helmku. Lalu, tepat di depan hidungku, kucium aroma
rumahnya Chika yang makin dekat. Kulihat pula ia sedang asyik bercerita dengan bunga
mawar di tamannya. Dengan langkah pasti, aku mulai berjalan mendekatinya.
“Selamat
sore Chika. Gimana kabarmu sekarang ?”
“Sore
Arka, hmm, seperti biasalah. Habis pulang dari rumah nenek, lalu aku sempatkan
untuk menyiram bungaku yang lama kutinggalkan, hehe”
“Begitu
ya. Bunga yang ditinggalkan ...”
“Ka,
Arka ...”
Aku
malah masuk ke dunia halusinasi ketika menghayati kata-kata itu. Lalu aku pun
mulai menanyakan kabarnya Laili. Entah apakah Chika sedang terkena sihir, ia
tampak bengong. Kucoba untuk menggerak-gerakkan tanganku di depan mukanya. Juga
kubunyikan jari-jemariku. Tak lama kemudian, raut mukanya mulai berkata padaku.
Matanya gemetar, kelopak matanya juga menunduk, air matanya juga mulai
mengalir. Ia pun bercerita panjang lebar padaku. “Semenjak hari itu, momen
terakhir itu, detik-detik yang takkan terlupakan itu, ia entah ke mana dan tak
memberi kabar apa pun Ka” Isak tangis Chika pun tak terbendung.
Mungkin
yang Chika alami memang sama sepertiku. Aku pun mulai menghibur Chika dengan
mengatakan kata-kata terakhirnya padaku dulu. Sewaktu ia berpamitan pulang. Aku
juga berharap semoga kita semua masih diberi kesempatan untuk bertemu lagi.
Langit pun mulai mengubah warnanya dari kemerahan ke warna yang kian suram.
Lalu aku pun berpamitan.
***
Senin,
11 Agustus 2014
Hari
ini, aku coba cara lain. Mungkin ini adalah strategi yang penuh dengan resiko.
Tapi kupikir lebih baik daripada harus bertanya kepada orang tuanya. Kucoba
untuk pergi ke sebuah kantor yang berada di pusat kota. Kuharap ada informasi
yang bisa aku dapatkan. Dengan ditemani Hondaku lagi, aku merasakan sedang
memainkan lempar koin. Jika beruntung, aku dapatkan info. Jika sial, maka
hancurlah sudah. Mentari yang tepat berada di atas kepala, panasnya sungguh
terasa. Aku pun sampai di rumah dinasnya walikota.
Aku
mulai berjalan dengan tenang memasuki ruangan kantor. Hawa dingin dari Ac mulai
merasuki tubuhku. Sayup-sayup terdengar bunyi printer dan detak suara orang sedang mengetik. Ada pula yang
berjalan ke sana kemari sambil memegangi telepon genggam. Hanya satu tempat
yang sedang aku tuju. Yaitu ruangan sekretaris walikota. Di sanalah kakak
laki-laki Laili sedang bekerja. Ketika akan kuketok pintunya, tiba-tiba hal
yang takterduga pun muncul dihadapanku.
PRAKKK,
CRAAANGGG, BRUUKKK... Seperti kiamat di dalam ruangan sekretaris. Betapa tidak.
Kulihat pecahan gelas, meja yang terguling, dan kertas juga peralatan kantor
yang berserakan. Ada dua orang yang terdiam di kursi mereka. Kakiku seperti
terpaku. Tak bisa bergerak lagi. Kudengar kata-kata kasar dan penuh makian
keluar dari mulut kakaknya Laili kepada dua orang itu. Sampai-sampai beberapa
rekan kantornya mulai berdatangan. Tetapi ia malah melangkah keluar dari
ruangannya dengan langkah yang cepat. Terlihat dari tatapan matanya betapa ia
masih marah dengan kedua orang tadi. Alhasil aku pun mulai mengurungkan niatku
untuk bertanya padanya saat itu.
Aku
pun pulang tanpa hasil. Malam ini, langit terasa berbeda. Entah kenapa, tiap
malam hari, bulan terasa kian dekat dan besar. Ataukah sebatas menuju purnama
seperti biasa. Entahlah.
***
Jumat,
15 Agustus 2014
“Arka,
ayo ke sini, berlarilah kemari”
“Laili,
benarkah itu kau ?”
“Ia
Ka. Sini cepat, aku punya sesuatu untukmu. Dengarkan puisi yang baru aku buat
ini ya”
Dengarkan bunyi hati yang tersirat
Lihatlah indahnya lukisan jiwa
Maknailah suasana nada irama kalbu yang penuh
amanat
Kau yang datang malam ini
Yang tak ingkari janji suci
Janji yang buktikan kesetiaanmu
Setiamu padaku
Ku sangat cintaimu ...
Tiba-tiba
aku terbangunkan mendengar baris terakhir puisi itu. Entah apakah hanya mimpi
atau memang benar Laili yang mendatangiku. Aku pun langsung berjalan menuju
lorong belakang rumah. Membasuh muka sambil mengingat puisi yang ia ucapkan
tadi. “Betapa indahnya puisimu itu, kuharap kita bisa berjumpa lagi” Kataku di
depan cermin kamar mandi. Aku pun tak sabar ingin segera melihat malam.
Jarum
jam bergerak sampai tak merasakan lelah. Ia katakan padaku bahwa sekarang sudah
pukul 19.30. Kucoba ‘tuk melirik angkasa. Pemandangan yang jarang aku lihat.
Ratusankah, tidak, kupikir bermilyar-milyar bintang sedang mengadakan pesta.
Mereka berkelap-kelip. Ada yang terang, ada yang redup. Ada pula yang bergerak.
Kupikir itu adalah bintang jatuh. Dan ini mengingatkan aku pada pesta di malam
itu. Lalu sinar merah juga hiasi ramainya langit. Bulan malam ini bersinar
merah dan sangat besar. Kurasa inilah saatnya untukku menemuinya.
Aku
mulai berjalan sendirian dalam kelamnya malam. Anehnya, tiada sesosok raga pun
yang terlihat malam ini. Angin yang berhembus membuat dedaunan berguguran.
Hanya terdengar suara jejak kakiku yang sedang menapaki jalan. Lalu ada sesosok
makhluk berwarna hitam yang hinggap di salah satu dahan pohon. Suaranya terdengar
menyeramkan. Kucoba untuk mengamatinya lebih dekat. “Ternyata hanya burung
gagak. Sebaiknya aku segera pergi dari sini”
Gumamku seraya mulai menggerakkan kaki dengan cepat.
Laili
Puspita bin Marto Sukadi
Lahir 13 Juni 1995
Meninggal 15 Agustus 2014
Seakan
tak percaya meski langit runtuh, ternyata memang tulisan yang terukir di batu
nisan itu tidak salah. Aku juga tak tahu kenapa, tiba-tiba air mataku keluar
dengan derasnya. Tapi kucoba untuk segera hentikannya. Kakiku menjadi lemah,
aku pun tertunduk. Lalu aku mulai berdoa tepat di dekat rumah terakhirnya.
Setelah proses penguburan selesai, aku coba tanyakan semuanya kepada
keluarganya. Ternyata, menurut pengakuan ayah dan ibunya, ia baru boleh
mengatakan semuanya setelah penguburannya selesai.
Ayah
ibunya mengatakan bahwa sebenarnya Laili telah divonis meninggal sejak 6 bulan
yang lalu karena menderita penyakit kanker. Kanker yang telah menjadi musuh
mematikan kaum Hawa. Benar. Adalah kanker payudara yang telah merenggut nyawa
anak kedua keluarga itu. Begitu pula membawa pergi satu-satunya perempuan
selain ibuku yang aku sayangi. Entah apa yang ia katakan sewaktu pertemuan
terakhir kami berdua tepat empat bulan yang lalu. Dan sekarang aku baru sadar,
bahwa ia pasti melakukan ini semata-mata karena tidak ingin melihatku bersedih.
Ibunya juga berkata bahwa mereka merahasiakan ini kepada semua teman-temannya.
Apalagi jika temannya mengetahui ia sedang sakit, hanya akan membuat temannya
ikut bersedih.
Aku
pun paham akan perasaannya. Perasaan seorang perempuan yang tidak ingin membuat
orang lain merasakan kepedihannya. Lalu aku teringat akan puisinya tadi pagi.
Kucoba buat puisi spontan untuk membalas puisimu itu.
Apa kau melihat derasnya lautan kesedihan ini ?
Apa kau mendengar kerasnya bunyi kemuraman
ini ?
Apa kau merasakan perih sakitnya sukma yang
tersayat ini ?
Apa kau mencium aroma jiwa yang pilu ini ?
Kau yang sekarang tertidur
Tidurmu yang begitu lama
Apakah kau tak ingin bangun ?
Tak ingin ketahui isi hati ini ?
Hati nurani yang begitu suci
Sesuci cintaku padamu
***
0 comments:
Post a Comment